Friday, November 25, 2016

Dollard & Miller

Gambar terkaitDollard & Miller mengemukakan sebuah teori yang sudah tak asing lagi, sama halnya seperti Pavlov, Dollard & Miller juga memakai konsep respon dan stimulus (R-S) dalam pembahasannya mengenai kepribadian manusia. Teori Dollard & Miller menekankan pada kebiasaan-kebiasaan yang timbul dari hasil hubungan antara respon dan stimulus yang terus terjadi, menurut mereka perilaku seseorang tidaklah muncul dari hasil spontan respon yang seseorang berikan karena adanya sebuah stimulus saja, melainkan juga harus ada dorongan-dorongan dari dalam diri (drive) yang ia tidak sadari ataupun dorongan yang ia sadari yang akhirnya membuat individu itu bergerak.

Selain hanya mengandalkan stimulus dan respon Dollard & Miller juga memasukan unsur-unsur kognitif atau proses berpikir (train of tough) dalam teorinya. Menurutnya sebuah stimulus yang diterima oleh seseorang bisa bergeneralisasi menjadi model stimulus yang lain, begitu juga dengan responnya. Individu bisa memberikan sebuah pemaknaan yang lain dan berbeda-beda dalam sebuah stimulus dan respon contohnya dalam penggunaan bahasa. Setiap individu bisa memberikan reasoning atas apa yang ingin atau yang harus ia perbuat untuk memunculkan respon tertentu.

Teori Dollard dan Miller dihasilkan dari eksperimen laboratorium dengan menggunakan tikus. Dalam eksperimen, seekor tikus laboratorium dimasukkan dalam kotak persegi dengan lantai berjaringan kabel listrik dan sebuah sekat rendah yang memisahkan kotak tersebut menjadi dua. Sebuah bel listrik dipasang dan diatur sedemikian rupa sehingga pada saat percobaan berlangsung, bel listrik tersebut berbunyi bersamaan dengan dialirinya listrik yang terputus-putus melalui kabel listrik pada kotak tersebut. Tikus yang terkejut karena aliran listrik melakukan variasi respon, hingga akhirnya tikus melakukan respon melompati sekat rendah tersebut dan listrik berhenti mengalir serta bel berhenti berbunyi. Percobaan ini diulang terus dan didapatkan bahwa respon melompati sekat rendah sejak bel berbunyi dan listrik mengalir waktunya semakin lama semakin berkurang.

Pada percobaan berikutnya, tikus dimasukkan lagi ke dalam kotak dan bel dibunyikan tapi listrik tidak mengalir. Bel ini terus berbunyi dan baru berhenti ketika tikus melompati sekat rendah di tengah kotak. Akhirnya, tikus ini melakukan respon melompati sekat rendah dan berpindah ke ruang lain di kotak tersebut ketika hanya bel saja yang dibunyikan. Sesi percobaan berikutnya pun dilakukan oleh Dollard dan Miller. Kali ini, sebuah pengungkit ditambahkan dalam kotak. Tikus lalu dimasukkan ke dalam kotak dan bel dibunyikan. Tikus tersebut melompati sekat rendah, namun bel listrik tidak berhenti berbunyi. Berbagai variasi respon pun dilakukan oleh tikus hingga akhirnya tikus menekan pengungkit dan bel berhenti berbunyi. Percobaan terus diulang dan tikus semakin lama semakin cepat melakukan respon menekan pengungkit segera setelah bel listrik dibunyikan.

Eksperimen ini secara keseluruhan menggabungkan antara pengkondisian klasikal dan pengkondisian operan. Ketika aliran listrik (stimulus tidak terkondisi/ST) dipasangkan dengan bunyi bel listrik (stimulus terkondisi/SK) dan tikus mengasosiasikan bunyi bel listrik dengan aliran listrik, maka pengkondisian klasikal telah terjadi. Kemudian ketika tikus berhasil melakukan respon (R) yang tepat untuk menghindari aliran listrik dan bunyi bel tersebut, yaitu dengan melompati sekat rendah, maka pengkondisian operan juga telah terjadi. Dan gabungan dari keduanya menyebabkan tikus akan melakukan respon melompati sekat rendah (R) ketika ia hanya mendengar bunyi bel listrik saja (SK) yang telah menggantikan fungsi aliran listrik (ST). Respon yang mendapat perkuatan saja (dalam hal ini terbebas dari rasa sakit akibat aliran listrik dan juga asosiasinya (bunyi bel listrik)) yang cenderung diulang. Hal ini bisa kita lihat dari perubahan respon melompati sekat rendah menjadi respon menekan pengungkit ketika respon melompati sekat rendah tidak lagi bisa dilakukan untuk mendapat perkuatan.

Satu hal lagi yang penting untuk diperhatikan dalam teori Dollard dan Miller dari percobaan ini adalah adanya sesuatu yang disebut respon internal (r) yang kemudian menjadi dorongan (drive/SD) sebagai isyarat (cue) untuk melakukan respon terbuka (R). Respon internal (r) ini berupa rasa takut akan rasa sakit yang timbul dari aliran listrik (rasa sakit ini sendiri adalah dorongan yang bersifat bawaan; contoh lainnya adalah rasa lapar, haus, dan seks. Menurut Dollard dan Miller, asosiasi yang terjadi antara stimulus terkondisi (SK) dengan respon internal (r) inilah yang disebut kebiasaan (habit) dan membentuk serangkaian proses berikutnya sampai individu melakukan respon terbuka (R) yang mendapat perkuatan. Respon internal (r) ini bisa berupa rasa takut dan kecemasan dalam diri individu. 

Dollard dan Miller mengemukakan bahwa tikus dalam percobaan pertama menggeneralisasikan stimulus, sehingga setiap kali bel berbunyi dengan variasi intensitas yang berbeda-beda sekali pun, tikus tetap merespon melompati sekat rendah. Namun tikus bisa juga melakukan diferensiasi stimulus, jika percobaan dilakukan dengan mengaliri listrik tepat hanya pada bunyi bel dengan intensitas tertentu, dan pada intensitas yang lain bel berbunyi tapi tidak ada aliran listrik; sehingga tikus hanya merespon pada stimulus yang spesifik.

Struktur Kepribadian

Kebiasaan merupakan satu-satunya elemen dalam teori Dollard & Miller yang merupakan ikatan atau asosiasi antara stimulus dengan respon, yang relatif stabil dan bertahan lama dalam kepribadian. Struktur-struktur kebiasaan itu tergantung pada peristiwa unik yang pernah dialami oleh individu yang bersangkutan. Namun, struktur kepribadian ini hanya bersifat sementara karena dapat berubah bila individu tersebut mendapatkan pengalaman baru keesokan harinya. Dollard & Miller berusaha menekankan bahwa segolongan dari kebiasaan itu sendiri penting bagi manusia untuk menghasilkan stimulus verbal entah dihasilkan dari individu itu sendiri ataupun orang lain dan biasanya responnya pun bersifat verbal.

Dollard & Miller juga mencatat bahwa kebiasaan dapat membuat individu melihat respon internal yang membangkitkan stimulus internal yang didalamnya terdapat dorongan (drive). Dorongan (drive) sendiri terbagi atas dua dorongan primer yaitu dorongan yang berkaitan dengan fisiologis contohnya yaitu lapar, haus, seks. Kedua yaitu dorongan sekunder yaitu asosiasi pemuasan dari dorongan primer contohnya yaitu kecemasan, rasa takut, gelisah. 

Rasa takut di dapat dari kejadian atau pengalaman unik dialami individu tersebut seperti seorang perempuan yang berjalan seorang diri di jalan yang sepi tiba-tiba dirampok oleh sekawanan penjahat. Setelah kejadian tersebut, ia pun merasa cemas jika akan bepergian seorang diri di jalan yang sepi. Karena itu, setiap bepergian di jalan yang sepi ia selalu mengajak teman untuk mengurangi rasa cemasnya.

Ok sekian dulu postingan saya, silahkan menuju postingan selanjutnya untuk membaca mengenai dinamika kepribadian oleh Dollar & Miller. 



Monday, November 21, 2016

ALBERT BANDURA (TEORI BELAJAR SOSIAL) Part 3

DINAMIKA KEPRIBADIAN
Motivasi merupakan konstruk kognitif yang mempunyai dua sumber, yaitu: 
- gambaran hasil pada masa yang akan dating
- harapan keberhasilan didasarkan pada pengalaman menetapkan dan mencapai tujuan-tujuan antara.
Harapan untuk mendapatkan reinforcement pada masa yang akan dating memotivasi seseorang untuk bertingkah laku tertentu. Juga dengan menetapkan tujuan atau tingkat performansi yang diinginkan dan kemudian mengevaluasi performansi dirinya, seseorang termotivasi untuk bertindak pada tingkat tertentu. Terus menerus mengamati, memikirkan, dan menilai tingkah laku diri akan memberi insentif-diri sehingga bertahan dalam berusaha mencapai standar yang telah ditentukan.

Hasil gambar untuk banduraWalaupun Bandura setuju dengan penguatan (reinforcement) menjadi penyebab belajar, namun menurutnya seseorang juga dapat belajar dengan
· penguatan yang diwakilkan (vicarious reinforcement), yaitu kepuasan yang didapat seseorang ketika  mengamati orang lain yang sedang mendapat penguatan membuatnya ikut berusaha belajar gigih agar menjadi seperti orang itu
· penguatan yang ditunda (expectation reinforcement), yaitu ketika seseorang terus menerus berbuat tanpa mendapat penguatan, karena yakin akan mendapat penguatan yang sangat memuaskan pada masa yang akan datang
· tanpa penguatan (beyond reinforcement), yaitu belajatr tanpa adanya penguatan sama sekali sperti konsep otonomi fungsional dari Allport.

Ekspektasi penguatan dapat dikembangkan dengan mengenali dampak dari tingkah laku orang lain yang ada di lingkungan sosial, mengganjar dan menghukum tingkah lakunya sendiri. Seseorang mengembangkan standar pribadi berdasarkan standar sosial melalui interaksinya dengan orang tua, guru, dan teman sebaya. Seseorang dapat mengganjar dan menghukum tingkah lakunya sendiri dengan menerima diri atau mengkritik diri sendiri. Penerimaan dan kritik diri penting perannya dalam membimbing tingkah laku, sehingga tingkah laku seseorang menjadi tetap (konsisten), tidak terus-menerus berubah akibat adanya perubahan sosial.

PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN
Belajar melalui observasi
Menurut Bandura, kebanyakan belajar terjadi tanpa reinforsmen yang nyata. Dalam penelitian yang dilakukannya, ternyata orang dapat mempelajari respon baru dengan melihat respon dari orang lain, bahkan belajar tetap terjadi tanpa ikut melakukan hal yang dipelajari itu, dan model yang diamatinya juga tidak mendapat reinforsmen dari tingkah lakunya. Belajar melalui observasi jauh lebih efisien dibanding belajar melalui pengalaman langsung. Melalui observasi orang dapat memperoleh respon yang tidak diikuti dengan hubungan atau penguatan.

A. Peniruan (Modelling)
Hasil gambar untuk bandura modeling
Inti dari belajar melalui observasi adalah modeling. Peniruan atau meniru sesungguhnya tidak tepat untuk mengganti kata modeling, karena modeling bukan sekedar menirukan atau mengulangi apa yang dilakukan orang lain (model), tetapi modeling juga melibatkan penambahan bahkan pengurangan tingkah laku yang diamati, menggeneralisir berbagai pengamatan sekaligus, melibatkan proses kognitif. 
B. Modeling tingkah laku baru
Melalui modeling orang dapat memperoleh tingkah laku baru. Ini dimungkinkan karena adanya kemampuan kognitif. Stimuli berbentuk tingkah laku model do transformasi menjadi gambaran mental, dan yang lebih penting lagi ditarnsformasi menjadi simbol verbal yang dapat diingat kembali suatu saat nanti. Ketrampilan kognitif yang bersifat simbolik ini, membuat orang dapat mentransform apa yang dipelajarinya atau menggabung-gabung apa yang diamatinya dalam berbagai situasi menjadi pola tingkah laku baru.

Contoh: Seorang anak petani belajar mencangkul tentu saja dari apa yang dia lihat ketika ayahnya sedang bekerja (mencangkul sawah)

C. Modeling mengubah tingkah laku lama
Di samping dampak mempelajari tingkah laku baru, modeling mempunyai dua macam dampak terhadap tingkah laku lama. Pertama, tingkah laku model yang diterima secara sosial dapat memperkuat respon yang sudah dimiliki pengamat. Kedua, tingkah laku model yang tidak diterima secara sosial dapat memperkuat atau memperlemah pengamat untuk melakukan tingkah laku yang diterima secara sosial, tergantung apakah tingkah model itu diganjar atau dihukum. Kalau tingkah laku yang tidak dikehendaki itu justru diganjar, pengamat cenderung meniru tingkah laku itu, sebaliknya kalau tingkah laku yang tidak dikehendaki itu dihukum, respon pengamat menjadi semakin lemah.

D. Modeling Simbolik
Dewasa ini sebagian besar modeling berbentuk simbolik. Contohnya Film dan telivisi menyajikan contoh tingkah laku yang tak terhitung yang mungkin mempengaruhi pengamatnya. Hal yang disajikan oleh media berpotensi sebagai model tingkah laku..

E. Modeling kondisioning
Modeling dapat digabung dengan kondisioning klasik menjadi kondisioning klasik vikarius. Modeling semacam ini banyak dipakai untuk mempelajari respon emosional. Pengamat mengobservasi model tingkahlaku emosional yang mendapat penguatan. Muncul respon emosional yang sama di dalam diri pengamat, dan respon itu ditujukan ke objek yang ada di dekatnya (kondisioning klasik) saat dia mengamati model itu, atau yang dianggap mempunyai hubungan dengan objek yang menjadi sasaran emosional model yang diamati.

Contoh: 
- ketika seorang anak melihat acara kekerasan di TV, seperti Smack Down. Maka anak tersebut akan mempraktekkan apa yang dilihatnya dengan teman dekatnya.
- ketika seorang yang terbiasa melihat film porno, maka anak tersebut akan menirukan adegan film tersebut dengan orang yang ada didekatnya.

Faktor-faktor penting dalam belajar melalui observasi 
Belajar melalui observasi memerlukan beberapa aktor atau prakondisi. Menurut Bandura, ada empat proses yang penting agar belajar melalui observasi dapat terjadi, yakni:
1. perhatian (attention process)
sebelum meniru orang lain, perhatian harus dicurahkan ke orang yang kita tiru. Perhatian ini dipengaruhi oleh asosiasi pengamat dengan modelnya, sifat model yang atraktif, dan arti penting tingkah laku yang diamati bagi si pengamat.
2. Representasi (representation process)
Tingkah laku yang akan ditiru, harus disimbolkan dalam ingatan. Baik dalam bentuk verbal maupun dalam bentuk gambaran/imajinasi. Representasi verbal memungkinkan orang mengevaluasi secara verbal tingkahlaku yang diamati, dan menentukan mana yang dibuang dan mana yang akan dicoba dilakukan. Representasi imajinasi memungkinkan dapat dilakukannya latihan simbolik dalamfikiran, tanpa benar-benar melakukannya secara fisik. 
3. peniruan tingkah laku model (behavior production process)
Sesudah mengamati dengan penuh perhatian dan memasukkannya ingatan, orang lalu bertingkah laku. Mmengubah dari gambaran fikiran menjadi tingkah laku menimbulkan kebutuhan evaluasi. Seperti timbul fikiran dalam diri kita bagaimana melakukannya?, apa yang harus dikerjakan, apakah sudah benar?, dll. 
4. motivasi dan penguatan (motivation and reinforcemen process)
Belajar melalui pengamatan menjadi efektif kalau pembelajar memiliki motivasi yang tinggi untuk dapat melakukan tingkah laku modelnya. Observasi munkin memudahkan orang untuk menguasi tingkah laku tertentu, tetapi kalau motivasi itu tidak ada maka tidak bakal terjadi proses belajar. Imitasi lebih kuat terjadi pada tingkah laku model yang diganjar, daripada tingkah laku yang dihukum. Imitasi tetap terjadi walaupun model tidak diganjar, sepanjang pengamat melihat model mendapat ciri-ciri positif yang menjadi tanda dari gaya hidupa yang berhasil, sehingga diyakini model umumnya akan diganjar. 
Hasil gambar untuk bandura modelingMotivasi banyak ditentukan oleh kesesuaian antara karekteristik pribadi pengamat dengan karakteristik modelnya. Ciri-ciri model seperti usi, status sosial, seks, keramahan, dan kemampuan penting dalam menentukan tingkat imitasi. Anak lebih senang meniru model seusianya daripada model model dewasa. Anak juga cenderung meniru model yang standar prestasinya dalam jangkauannya, alih-alih model yang standarnya diluar jangkauannya. Anak yang sangat dependen cenderung mengimitasi model yang dependennya lebih ringan. Imitasi juga dipengaruhi oleh interaksi anatara ciri model dengan observernya. Anak cenderung mengimitasi orang tuanya yang hanagat dan open, gadis lebih mengimitasi ibunya. 

CONTOH KASUS

Beberapa media cetak dan elektronik pernah menayangkan berita tentang seorang anak yang tewas karena dibanting oleh teman sepermainanya. Peristiwa tersebut tidak terjadi karena memang ada permusuhan diantara kedua anak tersebut namun hanya dalam suasana bermain khas anak-anak. Lalu apa yang menyebabkan kedua karib itu saling membanting? Setelah ditelusuri ternyata kedua anak tersebut terinspirasi oleh sebuah tayangan olahraga gulat yang ditayangkan pada saat prime time.

Peristiwa yang dialami oleh kedua anak tersebut sesuai dengan teori agresi yang dikemukakan oleh Bandura. Menurutnya, agresi didapatkan melalui pengamatan, pengalaman langsung dengan reinforcement positif dan negatif, latihan atau perintah, dan keyakinan yang ganjil. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Bandura, observasi terhadap perilaku agresi akan menghasilkan respon yang berlebihan. Hal itulah yang terjadi pada dua anak yang ‘bertanding’ gulat tersebut.


DAFTAR PUSTAKA
Alwisol. (2008). Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press.
Boeree, George. (2007). Personality Theories. Yogyakarta: Prismasophie


"Jangan lupa baca part selanjutnya mengenai Sejarah dan Struktur kepribadian dari Albert Bandura pada postingan lainnya ya"

ALBERT BANDURA (TEORI BELAJAR SOSIAL) Part 2

STRUKTUR KEPRIBADIAN 
(Albert Bandura)

Bandura adalah salah satu tokoh behaviorist yang meyakini bahwa kepribadian adalah keseluruhan dari cara bagaimana kita mempunyai kemampuan untuk berpikir,merasa dan bertindak. Struktur kepribadian menurutnya terdiri dari tiga hal :

Hasil gambar untuk bandura1. Sistem self. 
Bagi Bandura pengaruh yang ditimbulkan oleh self sebagai salah satu determinan tingkah laku tidak dapat dihilangkan tanpa membahayakan penjelasan dan kekuatan peramalan. Dengan kata lain, self diakui sebagai unsur struktur kepribadian. Determinism reciprocal menempatkan semua hal saling berinteraksi, dimana pusat atau pemulanya adalah sistem self. Sistem self itu bukan unsur psikis yang mengontrol tingkah laku, tetapi mengacu pada struktur kognitif yang memberikan pedoman mekanisme dan seperangkat fungsi-fungsi persepsi, evaluasi, dan pengaturan tingkah laku. Pengaruh self tidak otomatis (mengatur tingkah laku secara otonom), tetapi self menjadi bagian dari sistem interaksi resiprokal. 

2. Regulasi Diri

Manusia mempunyai kemampuan berpikir, dan dengan kemampuan itu mereka memanipulasi lingkungan sehingga terjadi perubahan lingkungan akibat kegiatan manusia. Menurut Bandura, strategi reaktif dan proaktif akan terjadi dalam regulasi diri. Strategi reaktif dipakai untuk mencapai tujuan. Ketika tujuan hampir tercapai, strategi proaktif berperan untuk menentukan tujuan baru yang lebih tinggi. Orang memotivasi dan membimbing tingkah lakunya sendiri melalui strategi proaktif, menciptakan ketidakseimbangan, agar dapat memobilisasi kemampuan dan usahanya berdasarkan antisipasi apa saja yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan. Ada tiga proses yang dipakai untuk melakukan pengaturan diri, yaitu :
a. Memanipulasi faktor eksternal 
b. Memonitor tingkah laku internal
c. Mengevaluasi tingkah laku internal
Tingkah laku manusia ini adalah hasil pengaruh resiprokal dari faktor internal dan faktor eksternal. Ada dua faktor yang mempengaruhi dalam proses regulasi diri yaitu factor eksternal dan faktor internal.
A. Faktor Eksternal Dalam Regulasi Diri
Faktor eksternal mempengaruhi regulasi diri dengan dua cara, yaitu :
     1. Faktor eksternal memberi standar untuk mengevaluasi tingkah laku 
Faktor lingkungan berinteraksi dengan pengaruh - pengaruh pribadi untuk membentuk standar evaluasi diri seseorang. Melalui orang tua dan guru, anak-anak belajar baik-buruk, serta tingkah laku yang dikehendaki dan tidak dikehendaki. Melalui pengalaman yang berinteraksi dengan lingkungan yang lebih luas, anak kemudian mengembangkan standar yang dipakai untuk menilai prestasi diri.
     2. Faktor eksternal mempengaruhi regulasi diri dalam bentuk penguatan (reinforcement).
Hadiah intrinsik tidak selalu memberikan kepuasan kepada seseorang. Oleh karena itu, seseorang membutuhkan insentif yang berasal dari lingkungan eksternal. Standar tingkah laku dan penguatan biasanya saling berhubungan. Ketika orang dapat mencapai standar tingkah laku tertentu, perlu penguatan agar tingkah laku semacam itu menjadi pilihan untuk dilakukan lagi. 
B. Faktor Internal Dalam Regulasi Diri
Hasil gambar untuk bandura regulasi diriBandura mengemukakan tiga bentuk pengaruh internal yaitu :
     1. Observasi diri (Self Observation) 
Observasi diri ini dilakukan berdasarkan faktor kualitas penampilan, kuantitas penampilan, orisinalitas tingkah laku diri, dan seterusnya. Orang harus mampu memonitor perfomansinya walaupun tidak sempurna karena orang cenderung memilih beberapa aspek dari tingkah lakunya dan mengabaikan tingkah laku lainnya. Apa yang diobservasi seseorang tergantung pada minat dan konsep diri.
     2. Proses penilaian atau mengadili tingkah laku (Judgemental Process)
Adalah melihat kesesuaian tingkah laku dengan standar pribadi, membandingkan tingkah laku dengan norma standar atau dengan tingkah laku orang lain, menilai berdasarkan pentingnya suatu aktivitas, dan memberi atribusi perfomansi. Standar pribadi bersumber dari pengalaman mengamati model, misalnya orang tua atau guru, dan menginterpretasikan balikan atau penguatan dari performansi diri. Berdasarkan sumber model dan performansi yang mendapat penguatan, proses kognitif menyusun ukuran-ukuran atau norma yang sifatnya sangat pribadi, karena ukuran itu tidak selalu sinkron dengan kenyataan. Standar pribadi ini jumlahnya terbatas. Sebagian besar aktivitas harus dinilai dengan membandingkannya sesuai ukuran eksternal, bisa berupa normal standar, perbandingan sosial, perbandingan dengan orang lain, atau perbandingan kolektif. Orang juga menilai suatu aktivitas berdasarkan arti penting dari aktivitas itu sendiri bagi dirinya. Akhirnya, orang juga menilai seberapa besar dirinya menjadi penyebab dari suatu performansi, apakah diri sendiri dapat dikenai atribusi (penyebab) tercapainya performansi yang baik atau sebaliknya justru dikenai atribusi terjadinya kegagalan dan performansi yang buruk.
      3. Reaksi – Diri – Afektif (Self Response)
Berdasarkan pengamatan judgement itu, orang mengevaluasi diri sendiri (positif atau negatif), dan kemudian menghadiahi atau menghukum diri sendiri. Reaksi afektif bisa jadi tidak muncul karena fungsi kognitif membuat keseimbangan yang mempengaruhi evaluasi positif atau negatif menjadi kurang bermakna secara individual.

3. Efikasi Diri (Self Effication)
Bagaimana orang bertingkah laku dalam situasi tertentu tergantung kepada resiprokal antara lingkungan dengan kondisi kognitif, khususnya faktor kognitif yang berhubungan dengan keyakinannya bahwa dia mampu atau tidak mampu melakukan tindakan yang memuaskan. Bandura menyebut keyakinan atau harapan diri ini sebagai efikasi diri, dan harapan hasilnya disebut ekspektasi hasil.
     1. Efikasi diri atau efikasi ekspektasi (self effication – efficacy expectation)
Adalah persepsi diri sendiri mengenai seberapa bagus diri dapat berfungsi dalam situasi tertentu. Efikasi diri berhubungan dengan keyakinan bahwa diri memiliki kemampuan melakukan tindakan yang diharapkan.
     2. Ekspektasi hasil (outcome expectations)
Adalah perkiraan atau estimasi diri bahwa tingkah laku yang dilakukan diri itu akan mencapai hasil tertentu.

     Sumber Efikasi Diri
Perubahan tingkah laku dalam system Bandura kuncinya adalah perubahan ekspektasi efikasi (efikasi diri). Efikasi diri atau keyakinan kebiasaan diri itu dapat diperoleh, diubah, ditingkatkan atau diturunkan, melalui salah satu atau kombinasi empat sumber, yaitu :
     1. Pengalaman menguasai suatu prestasi (performent accomplishment)
Adalah prestasi yang pernah dicapai pada masa lalu. Performansi masa lalu menjadi pengubah efikasi diri yang paling kuat pengaruhnya. Prestasi (masa lalu) yang bagus meningkatkan ekspektasi efikasi, sedangkan kegagalan menurunkan efikasi.
     2. Pengalaman vikarius (vicarious experience)
Pengalaman vikarius ini diperoleh dari model social. Efikasi akan meningkat ketika mengamati keberhasilan orang lain, sebaliknya efikasi akan menurun jika mengamati orang yang kemampuannya kira-kira sama dengan dirinya ternyata gagal. Kalau figure yang diamati berbeda dengan diri si pengamat, pengaruh vikarius tidak besar. Sebaliknya, ketika mengamati kegagalan figure yang setara dengan dirinya, bisa jadi orang tidak mau mengerjakan apa yang pernah gagal dikerjakan figure yang diamatinya itu dengan jangka waktu yang lama.
      3. Persuasi sosial (social persuation)
Efikasi diri juga dapat diperoleh, diperkuat atau dilemahkan melalui persuasi sosial. Dampak dari sumber ini terbatas, tetapi pada kondisi yang tepat, persuasi dari orang lain dapat mempengaruhi efikasi diri. Kondisi itu adalah rasa percaya pada pemberi persuasi dan sifat realistik dari apa yang dipersuasikan. 
      4. Pembangkitan emosi (emotional / psychological states)
Keadaan emosi yang mengikuti suatu kegiatan akan mempengaruhi efikasi di bidang kegiatan itu. Emosi yang kuat, takut, cemas, stress, dapat mengurangi efikasi diri.

      Efikasi Diri sebagai Prediktor Tingkah Laku
Menurut Bandura, sumber pengontrol tingkah laku adalah resiprokal antara lingkungan, tingkah laku, dan pribadi. Efikasi diri merupakan variabel pribadi yang penting, yang kalau digabung dengan tujuan – tujuan spesifik dan pemahaman mengenai prestasi, akan menjadi penentu tingkah laku mendatang yang penting. Berbeda dengan konsep diri Rogers yang bersifat kesatuan umum, efikasi diri bersifat fragmental. Setiap individu mempunyai efikasi diri yang berbeda – beda tergantung kepada :
1. Kemampuan yang dituntut oleh situasi yang berbeda 
2. Kehadiran orang lain, khususnya saingan dalam situasi itu
3. Keadaan fisiologis dan emosional, seperti kelelahan, kecemasan, apatis, murung.
Efikasi yang tinggi atau rendah, dikombinasikan dengan lingkungan yang responsif atau tidak responsif, akan menghasilkan empat kemungkinan prediksi tingkah laku, yaitu :

Efikasi
Lingkungan
Prediksi Hasil Tingkah Laku
Tinggi
Responsif
Sukses, melaksanakan tugas yang sesuai dengan kemampuannya.
Rendah
Tidak responsif
Depresi, melihat orang lain sukses pada tugas yang dianggapnya sulit.
Tinggi
Tidak responsif
Berusaha keras mengubah lingkungan menjadi responsif melakukan protes, aktivitas sosial, bahkan memaksakan perubahan.
Rendah
Responsif
Orang menjadi apatis, merasa tidak mampu, pasrah.

        Efikasi Kolektif (Collective Efficacy)
Keyakinan masyarakat bahwa usaha mereka secara bersama – sama dapat menghasilkan perubahan sosial tertentu disebut efikasi kolektif. Bandura berpendapat bahwa orang berusaha mengontrol kehidupan dirinya bukan hanya melalui efikasi diri individual, tetapi juga melalui efikasi kolektif. Efikasi diri dan efikasi kolektif bersama – sama saling melengkapi untuk mengubah gaya hidup manusia. Efikasi kolektif timbul berkaitan dengan masalah – masalah perusakan hutan, kebijakan perdagangan internasional, perusakan ozon, kemajuan teknologi, hukum dan kejahatan, birokrasi, perang, kelaparan, bencana alam, dsb.

"Jangan lupa baca part selanjutnya mengenai Sejarah dan perkembangan kepribadian dari Albert Bandura pada postingan lainnya ya"

Sunday, November 20, 2016

Teori Belajar Trial and Error (Edward Lee Thorndike)

Hasil gambar untuk thorndikeThorndike lahir pada tanggal 13 Agustus 1874 di Williamsburg, Massachusetts dan meninggal pada tanggal 9 Agustus 1949. Thorndike bukan hanya mempelopori teori belajar tetapi juga dalam bidang psikologi pendidikan, perilaku verbal, psikologi komparatif, uji kecerdasan, problem nature-nurture, transfer training, dan aplikasi pengukuran kuantitatif untuk masalah sosiopsikologis. Thorndike memulai risetnya ketika berusia lebih dari 60 tahun, risetnya tersebut dimulai dengan studi telepati mental pada anak kecil kemudian menggunakan ayam, kucing, tikus, anjing, ikan, kera, dan manusia. Dari percobaan yang telah ia lakukan, Thorndike menyimpulkan bahwa cara belajar manusia dan hewan hampir sama yaitu secara bertahap yang disebut dengan Incremental.

Connectionism
Asosiasi antara kesan indrawi dan impuls dengan tindakan sebagai ikatan/kaitan atau koneksi atau dengan kata lain hubungan antara S dan R, bukan hanya kondisi stimulus dan tendensi untuk merespon.

Selecting and Connecting
Bentuk paling dasar dari proses belajar menurut Thorndike adalah trial and error learning (belajar dengan uji coba), atau yang bisa juga disebut selecting and connecting (pemilihan dan pengaitan). Thorndike mendapatkan ide ini melalui eksperimen awalnya yang memasukkan hewan ke dalam perangkat yang telah ditata sedemikian rupa sehingga ketika hewan itu melakukan jenis respons tertentu ia bisa keluar dari perangkat tersebut. Dari eksperimen ini Thorndike menyimpulkan bahwa selecting and connecting adalah usaha suatu individu untuk dapat menyeleksi cara yang dapat digunakan untuk mencari jalan keluar dari suatu permasalahan, dan menghubungkan kejadian-kejadian yang telah terjadi sebagai suatu patokan untuk dapat menemukan jalan keluar yang benar.

Learning is Incremental, Not Insightful
Thorndike menyimpulkan bahwa belajar bersifat incremental (bertahap), bukan insightful (langsung ke pengertian). Dengan kata lain belajar itu melalui tahap-tahap yang sistematis, tidak langsung melompat ke pengertian mendalam. Belajar yang dilakukan secara bertahap akan membutuhkan waktu yang lama tetapi menunjukkan kesuksesan yang relatif stabil. Tetapi jika belajar dilakukan dengan langsung ke pengertian, maka waktu yang dibutuhkan hanya sedikit tetapi kesuksesannya relatif tidak stabil.

Learning Not Mediated by Ideas
Berdasarkan risetnya, Thorndike juga menyimpulkan bahwa belajar adalah bersifat langsung dan tidak dimediasi oleh pemikiran atau penalaran. Thorndike menolak campur tangan nalar dalam belajar dan ia lebih mendukung tindakan seleksi langsung dan pengaitan dalam belajar.

Semua Mamalia Belajar dengan Cara yang Sama
Menurut Thorndike, proses belajar pada semua mamalia termasuk manusia, mengikuti kaidah yang sama, tetapi proses belajar pada manusia akan lebih rumit dan maju, seperti adanya akuisisi keterampilan memainkan biola, pengetahuan hitungan kalkulus, atau penemuan mesin-mesin.

Law of Readiness
Law of readiness (hukum kesiapan) yang dikemukakan Thorndike mengandung tiga bagian, yaitu:
1. Apabila seseorang siap untuk berperilaku (to conduct), maka perilaku akan sangat memuaskan.
2. Apabila seseorang siap untuk berprilaku, tapi tidak melakukannya akan sangat menganggu.
3. Apabila seseorang belum siap untuk berperilaku dan dipaksa untuk berperilaku, maka melakukannya akan sangat menganggu.

Law of Exercise
Hukum law of exercise (hukum latihan) yang dikemukakan Thorndike terdiri dari dua bagian, yaitu:
1. Koneksi antara stimulus dan respons akan menguat saat keduanya digunakan. Dengan kata lain, melatih koneksi (hubungan) antara situasi yang menstimulasi dengan suatu respons akan memperkuat koneksi diantara keduanya. Hukum latihan ini dinamakan law of use (hukum penggunaan).
2. Koneksi antara situasi dan respon akan melemah apabila hubungan dihentikan atau jika ikatan neural tidak digunakan. Hukum ini dinamakan law of disuse (hukum ketidakgunaan).

Law of Effect
Hasil gambar untuk law of effectHukum efek yang digagas oleh Thorndike adalah penguatan atau pelemahan dari suatu koneksi antara stimulus dan respon sebagai akibat konsekuensi dari respon. Jika suatu respon diikuti dengan keadaan yang menyenangkan, kekuatan koneksi akan bertambah dan lebih cenderung akan terulang kembali. Jika respon diikui dengan keadaan yang buruk, kekuatan koneksi akan menurun dan memungkinkan untuk perilaku respon tidak mengulang kembali.



DAFTAR PUSTAKA
Hergenhahn, B.R. & Oslon, Matterhew H. (2009). An Introduction to Theories of Learning (Teori Belajar). Terjemahan oleh Tri Wibowo B.S. 2008. Jakarta: Kencana.

Mount, Julie, dkk. 2007. Trial and Error versus Errorless Learning of Functional Skills in Patient with Acute Stroke. Jurnal NeuroRehabilitation.(Online), Jilid 22, No.2, hal. 123-132, (http://iospress.metapress.com/content/ v132145056w10753, diakses 7 Maret 2010).