Wednesday, July 15, 2015

Analisi Kasus Psikologi

Contoh Kasus:
Hasil gambar untuk miras

21 Pelajar Pacaran dan Gelar Pesta Miras
KENDAL KOMPAS.com - Belasan pelajar sekolah menengah atas dan sekolah menengah pertama Kendal, diamankan oleh petugas satuan polisi pamong praja (Satpol PP) Kabupaten Kendal, Jawa Tengah , Jumat (10/6/2011) siang.
Belasan pelajar yang berjumlah 21 orang dan masih berseragam itu, diamankan saat asik menggelar pesta minuman keras dan pacaran di sekitar stadioan Utama Kebondalem Kendal.
Setelah mendapat pengarahan dan menandatangani surat perjanjian, agar tidak mengulang lagi, mereka disuruh dikumpulkan di halaman kantor Satpol dan dihukum fisik. "Ini hanya pembinaan, supaya kalian jera," kata Kepala Satpol PP Kendal, Feri Bonay.
Feri menambahkan, pihaknya melakukan operasi disiang hari, karena mendapat laporan warga yang kerap melihat puluhan pelajar pacaran di sekitar stadion. Baik malam maupun siang. Bahkan pelajar tersebut, kerap melakukan perbuatan asusila.
"Sekitar stadion itu kan tempat bermain. Banyak anak-anak kecil yang bermain di situ, sehingga banyak orang tua yang takut anaknya tersebut ikut-ikutan," katanya.
Ia menambahkan, sesuai peraturan daerah nomor 10 tahun 2008, tentang pelacuran dan tindakan asusila, mereka dikenai sanksi hukuman kurungan dua hari atau denda uang 200 ribu rupiah.
"Tapi karena mereka pelajar, hanya kami beri pembinaan dan kami serahkan kepada orang tua dan gurunya," tambah Feri.
Sebelumnya, pada Rabu malam kemarin, Satpol PP Kabupaten Kendal juga telah melakukan razia. Dalam kesempatan itu, 9 pasang pelajar tertangkap saat asyik pacaran. 

Analisis 
Kebiasaan minum minuman keras yang kerap dilakukan oleh pelajar-pelajar dapat membuat mereka memiliki ketergantungan pada alkohol. Ketergantungan alkohol secara umum memiliki simtom-simtom gangguan yang lebih parah, seperti toleransi atau putus zat (Schuckit dkk.,1998). Efek pemutusan total alkohol pada peminum kronis dan berat dapat cukup dramatis karena tubuh telah terbiasa dengan zat tersebut. Secara subjektif, orang yang bersangkutan sering kali mengalami kecemasan, depresi, lemah, tidak dapat diam, dan tidak dapat tidur. Tremor otot, terutama otot-otot kecil di jari, wajah, kelopak mata, bibir, dan lidah dapat terlihat jelas dan denyut nadi, tekanan darah, serta suhu tubuh meningkat.

Orang-orang yang mengalami ketergantungan pada alkohol butuh minum alkohol setiap hari dan tidak mampu untuk menghentikan atau mengurangi konsumsinya meskipun berulang kali berupaya untuk berhenti sepenuhnya atau membatasi minum alkohol hanya pada waktu tertentu dalam sehari. Ketergantungan terhadap alkohol sering kali menyebabkan berbagai masalah sosial dan pekerjaan, pertengkaran dengan keluarga atau teman-teman, sering membolos dari pekerjaan, kemungkinan diberhentikan dari pekerjaan, dan ditahan karena kecelakaan lalu lintas.

Efek penggunaan alkohol jangka pendek bervariasi tergantung kadar konsentrasi zat tersebut di dalam aliran darah, yang pada akhirnya tergantung pada banyaknya alkohol yang dikonsumsi dalam satu kurun waktu tertentu, adanya makanan dalam lambung yang menahan alkohol dan mengurangi tingkat penyerapannya, ukuran tubuh orang yang minum alkohol tersbut, dan kemampuan kerja organ hati. Alkohol merupakan suatu obat kimia dan mempunyai efek bifase. Efek awal alkohol bersifat merangsang yaitu peminum merasakan suatu perasaan sosiabilitas dan nyaman yang ekspansif seiring naiknya kadar alkohol dalam darah. Namun, setelah kadar alkohol dalam darah mencapai puncaknya dan mulai turun, alkohol berfungsi sebagai depresan, dan si peminum dapat mengalami peningkatan dalam berbagai emosi negatif. Alkohol juga mampu menghilangkan rasa sakit dan dalam dosis yang lebih besar, bersifat sedatif, menyebabkan orang tertidur, bahkan kematian.

Kebiasaan minum yang kronis menimnulkan kerusakan biologis parah selain kemunduran psikologis. Konsumsi alkohol dalam waktu lama memberikan efek negatif bagi hampir setiap jaringan dan organ tubuh. Malnutrisi parah dapat terjadi dengan menghambat pencernaan makanan dan penyerapan vitamin. Konsumsi alkohol dalam waktu yang lama memiliki konsekuensi psikologis, biologis, dan sosial yang sangat serius, karena keberfungsiaan penyalahguna alkohol sendiri amat sangat terganggu, orang-orang yang berinteraksi dengannya juga sangat terpengaruh dan terluka.

Abnormalitas dan Psikopatologi
Banyak istilah untuk mengemukakan atau mendefinisikan arti abnormalitas, diantaranya: perilaku abnormal, perilaku maladaptif, gangguan emosional, patologis, psikopatologis, gangguan mental, dsb. Definis abnormalitas menggunakan beberapa karakteristik yaitu Kejarangan statistik, pelanggaran norma, distress pribadi, dan ketidakmampuan atau disfungsi.
1. Kejarangan Statistik
Salah satu aspek perilaku abnormal adalah perilaku tersebut jarang ditemukan. Kurva normal, atau kurva berbentuk lonceng, menempatkan mayoritas manusia di bagian tengah dalam kaitan dengan karakteristik tertentu; sangat sedikit yang berada di kedua bagian ekstrem. Perkataan yang mengungkapkan bahwa seseorang dianggap normal merujuk bahwa orang tersebut tidak menyimpang jauh dari rata-rata pola trait atau perilaku tertentu. Kejarangan statistik digunakan secara ekspilisit dalam mendiagnosis retardasi mental.
2. Pelanggaran Norma
Karakteristik lain yang dipertimbangkan dalam menentukan abnormalitas adalah apakah perilaku tersebut melanggar norma sosial, mengancam, atau mencemaskan mereka yang mengamatinya.
3. Distress Pribadi
Karakteristik lain dari beberapa bentuk abnormalitas adalah tekanan pribadi yaitu, perilaku dinilai abnormal jika menciptakan tekanan dan siksaan besar pada orang yang mengalaminya.
4. Disabilitas dan Disfungsi Perilaku
Disabilitas yaitu ketidakmampuan individu dalam beberapa bidang penting dalam hidup (misalnya hubungan kerja atau pribadi) karena abnormalitas, juga dapat menjadi komponen perilaku abnormal. Gangguan yang berkaitan dengan penggunaan zat sebagian ditentukan oleh disabilitas sosial atau pekerjaan (misalnya, kinerja yang rendah ditempat kerja, pertengkaran serius dengan pasangan) yang disebabkan penyalahgunaan zat.

Kebiasaan mengkonsumsi alkohol disebut sebagai perilaku abnormal sebab kebiasaan tersebut dapat digolongkan sebagai Perilaku maladaptif (self defeating) karena kebiasaan mengkonsumsi alkohol baik jangka panjang maupun jangka pendek dapat menganggu kesehatan, fungsi sosial, dan membatasi peran individu dalam masyarakat.

Conceptual Framework
Ketergantungan alkohol dapat termasuk pada conceptual framework Korchin yaitu development & adaptation, yang meliputi proses dari adaptasi dan perubahan perkembangan. Proses adaptasi yang dapat dilakukan dalam menangani ketergantungan alkohol terdiri dari Proses Fisiologi, Proses Kognisi, Proses Emosional, dan Proses Perilaku. Proses adaptasi fisiologi pertama dilakukan pemulihan dengan menghentikan penggunaan alkohol secara perlahan-lahan, kemudian setelah penggunaan alkohol mulai berkurang dilakukan persiapan kekeadaan semula, setelah itu pengguna alkohol dapat pulih dan tidak tergantung pada alkohol. Proses adaptasi fisiologis membutuhkan oksigen, fluids/nutrient, self, dan neural transmiter.

Intervensi
Penanganan bagi penyalahgunaan alkohol merupakan hal yang sulit, tidak hanya sifat zat tersebut yang menyebabkan kecanduan, namun juga karena banyak masalah psikologis lain yang terlibat. Berbagai intervensi yang dapat dilakukakan bagi permasalahan minum mencakup penanganan tradisional di rumah sakit, penanganan biologis dan penanganan psikologis.

A. Penanganan Tradisional di Rumah Sakit
Rumah-rumah sakit umum dan swasta di seluruh dunia selama bertahun-tahun telah menyediakan tempat tetirah bagi para penyalahguna alkohol, berupa ruang-ruang rawat di mana individu dapat menghentikan kebiasaan minumnya dan mengikuti berbagai terapi individual dan kelompok. Obat-obat penenang terkadang diberikan untuk menghilangkan kecemasan dan rasa tidak nyaman karena putus zat. Untuk membantu mengatasi pemutusan/penghentian, para peminum yang mengalami ketergantungan tersebut juga membutuhkan karbohidrat, vitamin B, dan terkadang, antikejang.

B. Penanganan Biologis
Penanganan biologis dipandang sebagai suatu penanganan tambahan, yaitu penanganan yang dapat memberikan manfaat bila dikombinasikan dengan suatu intervensi psikologis. Meskipun demikian, saat ini terdapat beberapa data mengenai terapi yang mencakup kombinasi terapi obat dan psikoterapi maupun kombinasi beberapa obat yang berbeda (Myrick dkk., 2000). Beberapa peminum yang sedang dalam penanganan menggunakan disulfiram, atau Antabuse, yaitu obat yang mencegah minum dengan cara menyebabkan muntah-muntah hebat jika alkohol diminum. Jika peminum alkohol mampu atau bersedia minum obat setiap pagi sesuai petunjuk, dapat diasumsikan bahwa kemungkinan besar frekuensi minum akan berkurang karena efek negatif yang terjadi ketika seseorang minum alkohol (Sisson & Azrin, 1989). Antabuse juga dapat menimbulkan efek samping yang serius, seperti peradangan jaringan saraf (Moss, 1990).

Obat antagonis opiat naltrekson dan nalokson dipercaya juga dapat menghambat aktivitas endorfin yang dirangsang oleh alkohol, sekaligus mengurangi ketagihan selama orang yang bersangkutan tetap meminumnya. Obat-obat tersebut dapat meningkatkan efektivitas total penanganan bila dikombinasikan dengan terapi kognitif perilaku (Streeton & Whelan, 2001; Volpicelli dkk., 1995; 1997; Ward dkk., 1998). Buspiron yang bekerja menghambat serotonin cukup memiliki manfaat terapeutik dalam penanganan ketergantungan alkohol (Kranzler dkk., 1994). Klonidin juga cukup bermanfaat untuk mengurangi efek penghentian dari beberapa obat, termasuk alkohol, opiat, dan nikotin. Akamprosat juga dapat memengaruhi sistem neurotransmiter glutamat dan GABA sehingga mengurangi ketagihan secara efektif.

C. Terapi Pasangan dan keluarga
Alkohol sangat merusak hidup para peminum. Oleh karena itu, banyak yang hidup hampir menyendiri, dan kurangnya dukungan sosial dapat memperparah masalah minum mereka. Masalah lain bagi yang sudah menikah adalah para peminum sering menyiksa secara fisik atau seksual anggota keluarga mereka. Terapi perkawinan atau pasangan yang berorientasi perilaku diketahui telah berhasil mengurangi permasalahan minum, cukup mengurangi penderitaan pasangan secara umum, dan berkurangnya kekerasan dalam rumah tangga. Fokus terapi ini adalah melibatkan pasangannya untuk membantu peminum meminum Antabuse secara teratur.

D. Penanganan Kognitif dan Perilaku
1. Terapi Aversi. Dalam terapi aversi peminum dikejutkan atau dibuat menjadi mual ketika melihat, meraih, atau mulai minum alkohol. Dalam satu prosedur, yang disebut sensitisasi tertutup (Cautela, 1996), peminum diinstruksikan untuk membayangkan dirinya mengalami mual hebat dan luar biasa karena minum alkohol.
2. Pendekatan Manajemen Peristiwa (operant conditioning) dan Penguatan Komunitas. Terapi ini mengajari pasien dan orang-orang dekatnya untuk menguatkan perilaku yang tidak berkaitan dengan alkohol. Terapi ini berkeyakinan bahwa peristiwa lingkungan dapat berperan penting dalam mendorong atau mencegah perilaku minum. Bagi individu yang terisolasi secara sosial, diberikan bantuan dan dorongan untuk membangun hubungan dengan orang lain yang tidak berhubungan dengan minum alkohol.
3. Minum secara Wajar. Para peminum alkohol harus berhenti minum secara total jika mereka ingin sembuh karena mereka tidak dapat mengendalikan kebiasaan minumnya ketika mencoba meminumnya kembali. Para peminum juga menjalani pelatihan penyelesain masalah dan asertivitas, menonton rekaman video tentang diri mereka pada saat mabuk, dan mengidentifikasi berbagai situasi yang memicu mereka untuk minum sehingga mereka dapat memilih tindakan yang tidak merusak diri sendiri. Pendekatan ini menekankan tanggung jawab pribadi dan pengendalian diri. Terapi memberikan empati dan dukungan dan menonjolkan aspek-aspek negatif pola minum berlebihan yang tidak diketahui peminum.

"Selamat Membaca"

Thursday, July 9, 2015

Gangguan Disosiatif

Etiologi disosiatif
Menurut Davison, dkk (2004), istilah gangguan disosiatif merujuk pada mekanisme, dissosiasi, yang diduga menjadi penyebabnya. Dalam buku yang dia tulis menuturkan bahwa konsep gangguan disosiatif berasal dari tulisan karya Pierre Janet yang menyatakan bahwa kesadaran biasanya merupakan kesatuan pengalaman, termasuk kognisi, emosi dan motivasi, namun dalam kondisi stres, memori trauma dapat disimpan dengan suatu cara sehingga di kemudian hari tidak dapat diakses oleh kesadaran seiring dengan kembali normalnya kondisi orang yang bersangkutan, sehingga kemungkinan akibatnya adalah amnesia atau fugue (Kihlsstrom, Tataryn, & Holt, (1993) dalam Davison, dkk (2004)).
Hasil gambar untuk gangguan disosiatifPandangan behavioral mengenai gangguan disosiatif agak mirip dengan berbagai spekulasi awal tersebut. Secara umum para teoris behavioral menganggap dissosiasi sebagai respon penuh stres dan ingatan akan kejadian tersebut. Etiologi gangguan identitas disosiatif. Terdapat dua teori besar mengenai gangguan identitas disosiatif. Salah satu teori berasumsi bahwa gangguan identitas disosiatif berawal pada masa kanak-kanak yang diakibatkan oleh penyiksaan secara fisik atau seksual. Penyiksaan tersebut mengakibatkan dissosiasi dan terbentuknya berbagai kepribadian lain sebagai suatu cara untuk mengatasi trauma (gleaves, 1996). Teori lain beranggapan bahwa gangguan identitas disosiatif merupakan pelaksanaan peran sosial yang dipelajari. Berbagai kepribadian yang muncul pada masa dewasa umumnya karena berbagai sugesti yang diberikan terapis (lilienfel dkk, 1999; spanos, 1994). Dalam teori ini gangguan identitas disosiatif tidak dianggap sebagai penyimpangan kesadaran; masalahnya tidak terletak pada apakah gangguan identitas disosiatif benar- benwar dialami atau tidak, namun bagaimana gangguan identitas disosiatif terjadi dan menetap.
Hasil gambar untuk gangguan disosiatif 
Terapi disosiatif
Mac Gregor (1996) mengatakan bahwa dalam tiga gangguan disosiatif, amnesia, fugue dan gangguan identitas disosiatif, para penderita menunjukkan perilaku yang secara sangat meyakinkan menunjukkan bahwa mereka tidak dapat mengakses berbagai bagian kehidupan pada masa lalu yang terlupakan. Oleh sebab itu, terdapat hipotesis bahwa ada bagian besar dalam kehidupan mereka yang direpres atau didisosiasikan merupakan hipotsis yang meyakinkan (Davison, dkk (2004). Oleh sebab itu terapi psikoanalisis lebih banyak dipilih untuk menangani gangguan disosiatif. Hal ini tidak lain bertujuan untuk mengangkat represi yang telah dilakukan subjek. Dalam Davison (2004) mengatakan bahwa gangguan disosiatif muncul diakibatkan adanya kejadian traumatik yang berusaha ditekan ke alam bawah sadar subjek yang bersangkutan.
Pada gangguan identitas disosiatif, Davison menjelaskan bahwa hipnotis umum dapat digunakan dalam penanganan gangguan identitas disosiatif. Secara umum, pemikirannya adalah pemulihan kenangan menyakitkan yang direpres akan difasilitasi dengan menciptakan kembali situasi penyiksaan pada masa sebelumnya yang diasumsikan telah dialami oleh pasien. Pada umumnya seseorang dihipnotis dan didorong agar mengembalikan pikiran mereka kembali ke peristiwa masa kecil. Yang diharapkan adalah dengan mengakses kenangan traumatik tersebut maka akan memungkinkan orang yang bersangkutan menyadari bahwa bahaya dari masa kecilnya saat ini sudah tidak ada dan bahwa kehidupannya yang sekarang tidak perlu dikendalikan oleh kejadian masa lalu tersebut. Namun dalam bukunya, Davison juga menyatakan bahwa penggunaan terapi pemulihan kenangan dapat berbahaya dan dapat mengakibatkan semakin parahnya simtom – simtom pada pasien gangguan identitas disosiatif. Davison (2004) menyayangkan bahwa dalam kebanyakan literatur kurang begitu banyak membahas dan  menekankan intervensi berbasis keluarga dibandingkan intervensi berbasis individu dalam penanganan gangguan identitas disosiatif. Dalam argumennya Davison menyatakan bahwa gangguan identitas disosiatif diyakini diakibatkan oleh hubungan keluarga yang bermasalah.
Terlepas dari orientasi klinis dari berbagai sumber Davison (2004) menyebutkan beberapa prinsip yang disepakati secara luas yaitu:
1.      Tujuannya adalah integrasi beberapa kepribadian.
2.      Setiap kepribadian harus dibantu untuk memahami bahwa dia adalah bagian dari satu orang dan kepribadian - kepribadian tersebut dimunculkan oleh diri sendiri.
3.      Terapis harus menggunakan nama setiap kepribadian hanya untuk menyamakan, bukan sebagai cara untuk menegaskan eksistensi kepribadian yaqng terpisah dan otonom yang tidak memilkiki tanggung jawab secara keseluruhan atas berbagai tindakan orang yang berangkutan secara keseluruhan.
4.      Seluruh kepribadian harus diperlakukan dengan adil dan empati.
5.      Terapis harus mendorong empatidan kerja sama diantara berbagai kepribadian.
6.      Diperlukan kelembutan dan dukungan berkaitan dengan trauma masa kanak – kanak yang mungkin telah memicu munculnya berbagai kepribadian (Bower dkk, 1971; Cady, 1985; Kluft, 1985, 1999; Ross, 1989).

Tujuan setiap pendekatan terhadap gangguan identitas disosiatif haruslah untuk meyakinkan penderita bahwa memecah diri menjadi beberapa kepribadian yang berbeda tidak lagi diperlukan untuk menghadapi berbagai trauma, baik trauma di masa lalu yang memicu disosiasi awal, trauma di masa sekarang atau trauma di masa yang akan datang.


Monday, July 6, 2015

Pola Asuh

Hasil gambar untuk pola asuhPengertian Pola Asuh
Hetherington & Whiting (1999) menyatakan bahwa pola asuh sebagai proses interaksi total antara orang tua dengan anak, seperti proses pemeliharaan, pemberian makan, membersihkan, melindungi dan proses sosialisasi anak dengan lingkungan sekitar. Orang tua akan menerapkan pola asuh yang terbaik bagi anaknya dan orang tua akan menjadi contoh bagi anaknya. Menurut Gunarsa (2002) pola asuh orang tua merupakan pola interaksi antara anak dengan orang tua yang meliputi bukan hanya pemenuhan kebutuhan fisik (makan, minum, pakaian, dan lain sebagainya) dan kebutuhan psikologis (afeksi atau perasaan) tetapi juga norma-norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungan. Menurut Wahyuning (2003) pola asuh adalah seluruh cara perlakuan orang tua yang ditetapkan pada anak, yang merupakan bagian penting dan mendasar menyiapkan anak untuk menjadi masyarakat yang baik. Pengasuhan anak menunjuk pada pendidikan umum yang ditetapkan pengasuhan terhadap anak berupa suatu proses interaksi orang tua (sebagai pengasuh) dan anak (sebagai yang diasuh) yang mencakup perawatan, mendorong keberhasilan dan melindungi maupun sosialisasi yaitu mengajarkan tingkah laku umum yang diterima oleh masyarakat. Universitas Sumatera Utara Pola asuh orang tua merupakan segala bentuk dan proses interaksi yang terjadi antara orang tua dan anak yang merupakan pola pengasuhan tertentu dalam keluarga yang akan memberi pengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak (Baumrind dalam Irmawati, 2002). Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pola asuh adalah suatu proses interaksi total orang tua dan anak, yang meliputi kegiatan seperti memelihara, memberi makan, melindungi, dan mengarahkan tingkah laku anak selama masa perkembangan serta memberi pengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak dan terkait dengan kondisi psikologis bagaimana cara orang tua mengkomunikasikan afeksi (perasaan) dan norma-norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungan.

Dimensi Pola Asuh
Baumrind (dalam Sigelman, 2002) menyatakan bahwa pola asuh terbentuk dari adanya dua dimensi pola asuh, yaitu;
(1) Acceptance/Responsiveness; menggambarkan bagaimana orang tua berespons kepada anaknya, berkaitan dengan kehangatan dan dukungan orang tua. Mengacu pada beberapa aspek, yakni; 
1) sejauh mana orang tua mendukung dan sensitif pada kebutuhan anakanaknya, 
2) sensitif terhadap emosi anak, 
3) memperhatikan kesejahteraan anak, 
4) bersedia meluangkan waktu dan melakukan kegiatan bersama, 
5) serta bersedia untuk memberikan kasih sayang dan pujian saat anak-anak mereka berprestasi atau memenuhi harapan mereka. Dapat menerima kondisi anak, orang tua responsif penuh kasih sayang dan sering tersenyum, memeberi pujian, dan mendorong anak-anak mereka. Mereka juga membiarkan anak-anak mereka tahu ketika mereka nakal atau berbuat salah. Orang tua kurang menerima dan responsif sering kali cepat mengkritik, merendahkan, menghukum, atau mengabaikan anak-anak mereka dan jarang mengkomunikasikan kepada anak-anak bahwa mereka dicintai dan dihargai.
(2) Demandingness/Control; menggambarkan bagaimana standar yang ditetapkan oleh orang tua bagi anak, berkaitan dengan kontrol perilaku dari orang tua. Mengacu pada beberapa aspek yakni; 
1) pembatasan; orang tua membatasi tingkah laku anak menunjukkan usaha orang tua menentukan hal-hal yang harus dilakukan anak dan memberikan batasan terhadap hal-hal yang ingin dilakukan anak, 
2) tuntutan; agar anak memenuhi aturan, sikap, tingkah laku dan tanggung jawab sosial sesuasi dengan standart yang berlaku sesuai keinginan orang tua, 
3) sikap ketat; berkaitan dengan sikap orang tua yang ketat dan tegas dalam menjaga agar anak memenuhi aturan dan tuntutan mereka. Orang tua tidak menghendaki anak membantah atau mengajukan keberatan terhadap peraturan yang telah ditentukan, 
4) campur tangan; tidak adanya kebebasan bertingkah laku yang diberikan orang tua kepada anaknnya. Orang tua selalu turut campur dalam Universitas Sumatera Utara keputusan, rencana dan relasi anak, orang tua tidak melibatkan anak dalam membuat keputusan tersebut, orang tua beranggapan apa yang mereka putuskan untuk anak adalah yang terbaik dan benar untuk anak. 
5) kekuasaan sewenang-wenang; menggambarkan bahwa orang tua menerapkan kendali yang ketat, kekuasaan terletak mutlak pada orang tua. Mengendalikan atau menuntut aturan yang ditetapkan orang tua, mengharapkan anak-anak mereka untuk mengikuti mereka, dan memantau anakanak mereka dengan ketat untuk memastikan bahwa aturan-aturan dipatuhi. Orang tua yang kurang dalam pengendalikan atau menuntut (sering disebut orang tua permisif) membuat tuntutan yang lebih sedikit dan memungkinkan anak-anak mereka memiliki banyak kebebasan dalam mengeksplorasi lingkungan, mengungkapkan pendapat mereka dan emosi, dan membuat keputusan tentang kegiatan mereka sendiri.

Jenis-Jenis Pola Asuh
Berdasarkan hasil penelitian Diana Baumrind (dalam Sigelmen, 2002) dikatakan terdapat 3 jenis pola asuh yaitu: authoritarian, authoritative dan permissive. Kemudian Maccoby & Martin menambahkan satu jenis pola asuh lagi dengan pola asuh uninvolved/ neglectful.
Hasil gambar untuk pola asuh1. Authoritarian parenting; pola asuh ini mengkombinasikan tingginya demandingness/control dan rendahnya acceptance/responsive. Orang tua memaksakan banyak peraturan, mengharapkan kepatuhan yang ketat, jarang menjelaskan mengapa anak harus memenuhi peraturan-peraturan tersebut, Universitas Sumatera Utara dan biasanya mengandalkan taktik kekuasaan seperti hukuman fisik untuk memenuhi kebutuhannya.
2. Authoritative parenting; orang tua authoritative lebih flexibel; mereka mengendalikan dan menggunakan kontrol, tetapi mereka juga menerima dan responsif. Seimbang dalam kedua dimensi baik demandingness/control maupun acceptance/responsive. Mereka membuat peraturan yang jelas dan secara konsisten melakukannya, mereka juga menjelaskan rasionalisasi dari peraturan mereka dan pembatasannya. Mereka juga responsif pada kebutuhan anak-anak mereka dan sudut pandang anak, serta melibatkan anak dalam pengambilan keputusan keluarga. Mereka dapat diterima secara rasional dan demokratis dalam pendekatan mereka, meski dalam hal ini jelas mereka berkuasa, tetapi mereka berkomunikasi secara hormat dengan anakanak mereka.
Hasil gambar untuk pola asuh3. Permissive parenting; pola pengasuhan ini mengandung demandingness/control yang rendah dan acceptance/responsive yang tinggi. Orang tua permisif penyabar, mereka membuat beberapa pengendalian pada anak-anak untuk berperilaku matang, mendorong anak untuk mengekspresikan perasaan dan dorongan mereka dan jarang menggunakan kontrol pada prilaku mereka.
4. Neglectful parenting; merupakan orang tua yang mengkombinasikan rendahnya demandingness/control dan acceptance/responsive yang rendah pula. Secara relatif tidak melibatkan diri pada pengasuhan anak mereka mereka terlihat tidak terlalu perduli pada anak-anak mereka dan bahkan Universitas Sumatera Utara mungkin menolak mereka atau yang lainnya mereka kewalahan dengan masalah-masalah mereka sendiri yang mana mereka tidak dapat memberikan energi yang cukup untuk menetapkan dan menegakkan aturan.

Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh
Darling (1999) mengatakan ada tiga faktor yang mempengaruhi pola asuh, yaitu:
1. Jenis kelamin anak
Jenis kelamin anak mempengaruhi bagaimana orang tua mengambil tindakan pada anak dalam pengasuhannya. Umumnya orang tua akan bersikap lebih ketat pada anak perempuan dan memberi kebebasan lebih pada anak laki-laki. Namun tanggung jawab yang besar diberikan pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan.
2. Kebudayaan
Latar belakang budaya menciptakan perbedaan dalam pola asuh anak. Hal ini juga berkaitan dengan perbedaan peran dan tuntutan pada laki-laki dan perempuan dalam suatu kebudayaan.
3. Kelas sosial ekonomi

Orang tua dari kelas sosial ekonomi menengah ke atas cenderung lebih permissive dibanding dengan orang tua dari kelas sosial ekonomi bawah yang cemderung autoritarian.