Wednesday, June 15, 2016

Psikologi Transpersonal


Hasil gambar untuk psikologi transpersonalPerspektif Transpersonal dan Eksistensialis Pendekatan eksistensial dan transpersonal memiliki kesamaan fokus dan saling menawarkan satu sama lain. Keduanya menekankan fokus pada hal-hal mengenai kehidupan terdalam, terutama mengenai penyebab dan bantuan dari pengalaman penderitaan dan apa arti hidup sepenuhnya. Dengan demikian, mereka memberikan perhatian khusus pada sifat dasar dari kondisi manusia, cara-cara dimana kita gagal dalam mengambil kesempatan, masalah dalam penderitaan, dan bagaimana kita dapat secara penuh dalam memberikan respon mendasar pada masalah ini. Pada bab ini, kita akan menjelaskan mengenai empat topik, yaitu: 
1. Gagasan bahwa biasanya manusia memiliki kondisi yang kurang sempurna, mengalami kekurangan, dan menjiwai penderitaan. 
2. Godaan konvensionalitas (seperti kumpulan atau trans konsensus). 
3. Tuntutan bahwa jalan biasa yang digunakan untuk hidup adalah tidak otentik atau somnambulistic. 
4. Strategi dan respon untuk menjadi otentik atau menjadi sadar akan diri. The unsatisfactoriness of our usual human condition. 

Kebingungan ambiguitas dan ketidakpuasaan adalah dua hal yang sering kita alami dalam kehidupan sehari-hari. Untuk Heidegger, kita “melemparkannya” pada situasi ambiguitas dan keterasingan, yang dianggap Jaspers sebagai “kapal karam” dari kondisi manusia yaitu mengalami kesendirian dalam dunia alien. Disana, kita menghadapi “batas situasi” dari kesendirian, kesiasiaan, tanggung jawab, dan kematian (Yalom, 1981). Konsekuensinya, eksistensialis menyatakan bahwa nada perasaan yang dalam adalah salah satu kecemasan dan seperti yang Nietzsche (1968) katakan, “sedalam manusia melihat kedalam hidup, dia juga melihat kedalam penderitaan”. Perspektif transpersonal banyak mengakui teori-teori eksistensial, termasuk dalam hal mengakui kegunaan dari ambiguitas dan kecemasan, dan hal itu menunjukkan bahwa eksistensial telah membuat diagnosis yang mendalam dan akurat mengenai nada perasaan yang dalam dari keberadaan kecemasan. Pada inti gerakan transpersonal, orang menemukan pernyataan yang konsisten bahwa kita mengalami kesalahan identitas. Kita melihat diri kita sebagai “skin-encapsulated egos”. Ego atau self-sense ini, sama seperti pendapat yang dimiliki eksistenstialis, bukan diberikan atau tidak tetapi lebih sebagai dipilih dan dibangun. Dengan demikian, eksistensialis dan transpersonalis menyutujui bahwa pandangan yang biasa mengenai diri adalah suatu hal yang salah dan fenomenologi sistematis atau kontemplasi mengungkapkan kesalahan ini. 

Eksistensialis dan transpersonalis memiliki pandangan yang berbeda dalam memahami sifat dan kebutuhan dari self-sense dan mengenai sifat yang lebih dalam dari identitas. Eksistensialis cenderung mengasumsikan bahwa setiap pengalaman “dimiliki” dalam hal ini dapat dan harus dikaitkan dengan sebuah „I‟. Pada terminologi Kant, setiap pengalaman disertai oleh „pikiran saya‟ (Cooper, 1990, pp. 97-98). Transpersonalis memegang pandangan yang berbeda yang didasarkan pada pengalaman kontemplatif. Mereka menghargai pendapat yang mengatakan bahwa “setiap pengalaman adalah dimiliki” sebagai contoh seperti apa yang orang Budha katakan “pandangan yang salah”. Ini adalah proses yang biasa dalam bagian kesadaran dimana kesadaran gagal untuk mengenali proses ego konstruktif dan mengalami kekeliruan dalam menganggap bahwa terdapat beberapa diri dimana pengalaman terjadi (Engler, 1993; Epstein, 1995). Dengan pelatihan meditasi, kesadaran dapat menjadi lebih tepat dan sensitif, dan proses konstruktif ego dapat mulai diakui dan didekonstruksi (Goldstein, 1983). Sebuah perubahan yang cepat dari gambaran, pikiran, dan perasaan dipandang untuk mendasari asumsi ego yang berkelanjutan. Pengakuan ini dibuat oleh David Hume, yang ketika mencari identitas dirinya, ia tidak menemukan apa-apa kecuali sekumpulan persepsi yang berbeda. Semakin dalam self-senses yang ditemukan selama pelatihan meditasi dan pematangan maka akan meningkatkan transpersonal, yang berarti, memperluas diri melewati individu atau pribadi untuk mencakup aspek yang lebih luas dari manusia, jiwa, dan kosmos. Identitas akhirnya menjelaskan berbagai diri, pikiran, semangat, Geist, Atman, Tao, kesadaran alami, satchit-ananda, sifat dasar Budha, dan sifat dasar yang sebenarnya. Identitas ini dikatakan terjadi bersamaan atau coessential dengan dasar eksistensi. Pernyataan ini berasal dari realisasi identitas transpersonal yang bersatu dengan “semua” pusat dari filsafat abadi, yang merupakan pusat umum kebijaksanaan pada agama-agama besar (Huxley, 1994). Mereka mengatakan bahwa manusia harus mengalami pengalaman langsung yang dapat diuji melalui proses meditasi, bukan ajaran agama atau “metafisik belaka”. 

Gerakan transpersonal merupakan campuran dari filsafat abadi dan pengetahuan kontemporer, dan transpersonal sangat berkomitmen pada pengujian dan pernyataan lain yang diperoleh melalui pendekatan fenomenologis, kontemplatif, intelektual, dan cara ilmiah yang tepat. Ide-ide tentang egoic self-sense dan hal-hal yang mendasari identitas transpersonal, yaitu filsafat abadi dan transpersonalis kontemporer menyarankan bahwa salah satu kondisi yang kita alami adalah keterasingan diri (Wilber, 1995). Teori transpersonal menyarankan keterasingan diri sebagai pusat dari pemahaman mengenai kondisi dan penderitaan, dan menumbuhkan kesadaran untuk mengetahui bahwa identitas yang lebih dalam dapat membebaskan kita dari banyak kecemasan, keterasingan, dan atman project. The Atman Project Setiap manusia selalui mencari jati dirinya. Jati diri manusia tidak begitu saja di dapatkan dengan mudah, pencarian jati diri pada manusia selalu melalui beberapa kejadian dan rangkaian proses yang panjang. Manusia menjadi lebih baik dari pada sebelumnya juga dapat dikarenakan manusia tersebut telah melalui begitu banyak pengalaman yang mana bermanfaat dalam kelangsungan hidupnya. Penghayatan manusia pada diri manusia tersebut dan lingkungan yang berada di sekitarnya merupakan salah satu hal yang ingin dicapai oleh setiap manusia, yang mana hal ini biasa disebut sebagai self-transcendence. 

The atman project merupakan suatu pembahasan akan pencapaian hidup yang selalu dicari oleh manusia. Namun ketika manusia tidak menyadari dan tidak mencari tau akan pemahaman puncak dalam kehidupan ini maka yang ada pencarian orang tersebut akan makna hidup akan menjadi siasia. The atman project merupakan pembahasan yang membahas akan ke tidak puasan kita akan sesuatu yang tidak kita inginkan. The Limitations and Seduction of Conventionality and Conventional Slumber Kondisi dimana mimpi merupakan suatu hal yang dapat mengembangkan suatu hal kepercayaan dalam manusia, sekarang ini sudah mulai banyak dipertimbangkan oleh manusia. Pola berfikir mereka yang mengenggap sesuatu secara dangkal dan defensif, yang mana menghasilkan suatu pemikiran keseharian. Sehingga hal yang tadinya konvensional bisa dianggap tidak konvensional akibat perubahan penerimaan pada masyarakat. The Seduction of Conventionality Baik transpersonal dan eksistensialis percaya bahwa kekuatan konfesional (mimpi) membawa suatu kepercayaan, perilaku, dan suatu keinginan terhadap sesuatu. Dan bagi beberapa orang yang percaya dengan berlebih akan kekuatan ini tekadang dapat membahayakan orang tesebut. Beberapa keinginan tersembunyi bagi beberapa orang dalam mempercayai suatu hal seperti ini salah satunya adalah akibat adanya sesuatu pada beberapa hal, misalnya untuk pengakuan sosial terhadap lingkungan sekitar. 

Hasil gambar untuk psikologi eksistensialDalam transpersonal sendiri membahas akan tiga macam tahapan yang di lalui oleh manusia, yaitu pre-personal, personal dan transpersonal. Pada setiap tahapannya akan dilalui manusia dengan cara yang berbeda-beda dan selalu melalui suatu permasalahan. Baik transpersonal dan eksistensialis sama-sama membahas akan sesuatu yang melebihi batas dan nalar kita. Startegies and Responses Bagaimanapun juga Transpersonalists cenderung melihat etika sebagai salah satu komponen dari multiple disiplin yang dirancang untuk mendorong pengembangan tahap transpersonal/ transconventional sesuai keadaan kesadaran. Bahasa mereka cenderung meliputi tidak hanya metafora heroik, tetapi juga metafora pembukaan (opening), berlangsung (unfolding), kebangkitan (awakening), pembebasan (liberation), dan pencerahan (enlightenment) (Mitzner, 1998; Walsh, 1999). Hal ini juga cenderung mengakui pentingnya kedua komunal dan pengembangan individu (Vaughan, 1995b; Wilber, 1995, 1996). Pengembangan teori yang unggul pada transpersonal lapangan telah dilakukan oleh Wilber (1980, 1995, 1996). Dia menggandeng pengembangan strukturalisme untuk membandingkan contemplative lintas abad dan budaya dan telah mengidentifikasi enam tahapan perkembangan luar yang konvensional. Secara khusus, Wilber mengidentifikasi tahap kedua dari tahap transkonvensional dengan perspektif eksistensial dan pandangan dunia, dan dia menyarankan bahwa psikolog eksistensial memiliki pertimbangan aspek dari kondisi manusia lebih dalam hampir seluruh sekolah di Western. Dia telah mendeskripsikan empat tahap lebih lanjut dan menyesuasikan perspektif luar dari eksistensial. Tidak mengejutkan, bahwa ini memperluas kesulitan untuk mencapainya dan jarang bisa nyata tanpa bantuan dari beberapa tipe dari intensive contemplative discipline. Pemeriksaan lintas budaya dari authentic spiritual discipline menunjukkan bahwa meskipun mereka mungkin mengandung sejumlah besar budaya yang aneh, mereka juga mungkin mengandung proses dan praktek efektif. Hingga saat ini, tujuh elemen umum telah disarankan, seperti: perilaku etis, stabilitas perhatian (attentional), transformasi emosi, perbaikan persepsi, pengalihan motivasi, pembudidayaan kebijaksanaan, dan layanan (Walsh, 1999). Authentic discipline (misalnya kemampuan disiplin mempengaruhi pengembangan transpersonal) termasuk kontemplatif atau pelatihan meditasi. Ini mungkin tampak bertentangan dengan peringatan Heidegger (1982) terhadap sifat melawan/boros dalam jiwa seseorang, tetapi introspeksi dapat melibatkan baik perenungan obsesif atau disiplin dari pengembangan mental. 

Klaim untuk tahap transpersonal dan potensi luar konvensional jelas adalah makna yang besar. Tapi pertanyaan jelas: apakah mereka benar? Apakah transpersonal dialami, bertahap, dan kapasitasnya valid dan berpotensi berharga didalam diri kita? Atau sebagai kritik (meliputi beberapa eksistensialists) telah disarankan, apakah mereka hanya sekedar produk dari patologi, regressed (kemunduran) atau (deluded mind) penipuan pikiran untuk melawan hal yang menyedihkan. Pertimbangan dari teori dan penelitian sekarang mendukung beberapa klaim uuntuk nilai dan validitas dari pengalaman dan potensi transpersonal (Laughlin. McManus & d‟Aquili, 1992; Shapiro & Walsh, 1984, Walsh, 1993; Walss& Vaughan, 1993; Wilber, 1980, 1995, 1996). Di arena ini bagaimanapun telah ditemukan penemuan penting dan teori yang terperinci yaitu pengalaman langsung. Untuk seribu tahun, tradisi kebijaksanaan telah diargumenkan bahwa jalan terbaik untuk menaksir beberapa klaim adalah mengetes mereka, dirinya sendiri, melalui penjelajahan dan pengembangan pikiran sendiri. Disini, eksistensialists dan transpersonalists setuju jawaban yang paling mendalam dan penting dapat ditemukan dari kehidupan diri sendiri dan pengalaman. 

Sumber:
Tugas kuliah Humanistik Psikologi Unair 2013
Schneider, K. J., Burgental, J. F. T. & Pierson, J. F. (2001). The Handbook of Humanistic Psychology. California: Sage Publication, inc.



Sunday, June 12, 2016

Tuna Daksa

Hasil gambar untuk tuna daksaAnak tunadaksa dapat kita definisikan sebagai penyandang bentuk kelainan atau kecacatan pada sistem otot, tulang dan persendian yang dapat mengakibatkan gangguan koordinasi, komunikasi, adaptasi, mobilisasi, dan gangguan perkembangan keutuhan pribadi. Salah satu definisi mengenai anak tunadaksa menyatakan bahwa anak tunadaksa adalah anak penyandang cacat jasmani yang terlihat pada kelainan bentuk tulang, otot, sendi maupun saraf-sarafnya. Istilah tunadaksa memiliki arti yang sama dengan istilah yang berkembang, seperti cacat tubuh, tuna tubuh, tuna raga, cacat anggota badan, cacat orthopedic, crippled, dan orthopedically handicapped (Depdikbud, 1986:6).
Anak tunadaksa dilihat dari sistem kelainannya dapat diklasifikasikan kedalam dua bagian, yaitu kelainan pada sistem cerebral (cerebral system) dan kelainan pada sistem otot dan rangka (musculus skeletal system).

Penyandang kelainan pada sistem cerebral memiliki kelainan yang terletak pada sistem saraf pusat, seperti cerebral palsy atau kelumpuhan otak. Menurut derajat kecacatannya, cerebral palsy diklasifikasikan menjadi:
1. ringan, dengan ciri-ciri, yaitu dapat berjalan tanpa alat bantu, bicara jelas, dan dapat menolong diri sendiri.
2. sedang, dengan ciri-ciri: membutuhkan bantuan untuk latihan berbicara, berjalan, mengurus diri, dan alat-alat khusus, seperti brace.
3. berat, dengan ciri-ciri, yaitu membutuhkan perawatan tetap dalam ambulasi, bicara, dan menolong diri. 

Menurut letak kelainan di otak dan fungsi geraknya cerebral palsy dibedakan menjadi: 
1. spastik, dengan ciri seperti terdapat kekakuan pada sebagian atau seluruh ototnya.
2. dyskenisia, yang meliputi athetosis (penderita memperlihatkan gerak yang tidak terkontrol), rigid (kekakuan pada seluruh tubuh sehingga sulit dibengkokkan); tremor (getaran kecil yang terus menerus pada mata, tangan atau pada kepala)
3. Ataxia (adanya gangguan keseimbangan, jalannya gontai, koordinasi mata dan tangan tidak berfungsi.
Hasil gambar untuk tuna daksa4. jenis campuran (seorang anak mempunyai kelainan dua atau lebih dari tipe-tipe di atas).
Sedangkan penyandang kelainan pada sistem otot dan rangka memiliki kelainan yang terletak pada otot dan rangkanya. Pada golongan penyandang cacat ini kebanyakan dapat bersekolah pada sekolah-sekolah umum. Penyandang kelainan sistem otot dan rangka ini dapat digolongkan menjadi:
1. Poliomyelitis
merupakan suatu infeksi pada sumsum tulang belakang yang disebabkan oleh virus polio yang mengakibatkan kelumpuhan dan sifatnya menetap.  Dilihat dari sel-sel motorik yang rusak, kelumpuhan anak polio dapat dibedakan menjadi
a) tipe spinal, yaitu kelumpuhan atau kelumpuhan pada otot-otot leher, sekat dada, tangan dan kaki,
b) tipe bulbair, yaitu kelumpuhan fungsi motorik pada satu atau lebih saraf tepi dengan ditandai adanya gangguan pernapasan,
c) tipe bulbispinalis, yaitu gabungan antara tipe spinal dam bulbair,
d) encephalitis yang biasanya disertai dengan demam, kesadaran menurun, tremor, dan kadang-kadang kejang. 

Kelumpuhan pada polio sifatnya layu dan biasanya tidak menyebabkan gangguan kecerdasan atau alat-alat indra. Akibat penyakit poliomyelitis adalah otot menjadi kecil (atropi) karena kerusakan sel saraf, adanya kekakuan sendi (kontraktur), pemendekan anggota gerak, tulang belakang melengkung ke salah satu sisi, seperti huruf S (Scoliosis), kelainan telapak kaki yang membengkok ke luar atau ke dalam, dislokasi (sendi yang ke luar dari dudukannya), lutut melenting ke belakang (genu recorvatum).

2. Muscle Dystrophy, 
merupakan jenis penyakit yang mengakibatkan otot tidak berkembang karena mengalami kelumpuhan yang sifatnya progresif dan simetris. Penyakit ini ada hubungannya dengan keturunan.

3. Spina bifida, 
merupakan jenis kelainan pada tulang belakang yang ditandai dengan terbukanya satu atau 3 ruas tulang belakang dan tidak tertutupnya kembali selama proses perkembangan. Akibatnya, fungsi jaringan saraf terganggu dan dapat mengakibatkan kelumpuhan, hydrocephalus, yaitu pembesaran pada kepala karena produksi cairan yang berlebihan. Biasanya kasus ini disertai dengan ketunagrahitaan (Black, 1975).

Di Indonesia tujuan pendidikan anak tunadaksa mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1991 agar peserta didik mampu mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya, dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan.

Fasilitasi untuk anak penyandang cacat tidak terlepas dari tujuan-tujuan pendidikan yang telah dikemukakan oleh Connor (1975) yang meliputi tujuh aspek yaitu:
1. Pengembangan intelektual dan akademik,
2. Membantu perkembangan fisik,
3. Membantu mengembangkan emosi dan penerimaan diri anak,
4. Mematangkan aspek sosial,
5. Mematangkan moral dan spiritual,
6. Meningkatkan ekspresi diri,
7. Serta mempersiapkan masa depan anak.
Tujuan- tujuan tersebut sebenarnya memiliki dua capaian yang diinginkan yaitu pengembangan fungsi fisik dan pengembangan dalam pendidikan. Oleh sebab itu fasilitasi pendidikan untuk anak tunadaksa harus dapat melingkupi dan memenuhi ketujuh aspek tersebut supaya anak tunadaksa tersebut dapat berkembang dengan optimal selayakna anak pada umumnya serta dapat hidup dengan mandiri dan mampu membangun pribadi yang seutuhnya.

Hasil gambar untuk tuna daksaDari sumber yang kami peroleh, fasilitasi pendidikan untuk anak tunadaksa melingkupi tempat belajar, sistem belajar, serta pengajar yang mampu mengembangkan para tunadaksa secara optimal. Dari segi tempat belajar, model layanan pendidikan yang sesuai dengan jenis dan derajat kelainan, serta jumlah siswa didik untuk anak tunadaksa dapat ditempatkan pada sekolah-sekolah sebagai berikut:

1. Sekolah Khusus Berasrama (Full-Time Residential School) 
Model ini diperuntukkan bagi anak tunadaksa yang derajat kelainannya berat dan sangat berat. Hal ini dikarenakan peserta didik perlu adanya penanganan secara intensif dari pihak yang berkompeten serta keterbatasan kemampuan orang tua unuk mendidik si anak tersebut.

2. Sekolah Khusus tanpa Asrama (Special Day School) 
Model ini dapat diperuntukkan bagi anak tunadaksa yang mampu pulang pergi ke sekolah atau tempat tinggal mereka yang tidak jauh dari sekolah. 

3. Kelas Khusus Penuh (Full-Time Special Class) 
Anak tunadaksa yang memiliki tingkat kecacatan ringan dan kecerdasan homogen dilayani dalam kelas khusus secara penuh. 

4. Kelas Reguler dan Khusus (Part-Time Reguler Class and Part-Time Special Class) 
Model ini digunakan apabila para orang tua ingin menyatukan anak tunadaksa dengan anak normal, namun pada mata pelajaran tertentu. Mereka belajar dengan anak normal dan apabila anak tunadaksa mengalami kesulitan mereka belajar di kelas khusus. 

5. Kelas reguler Dibantu oleh Guru Khusus (Reguler Class with Supportive Instructional Service) 
Anak tunadaksa bersekolah bersama-sama dengan anak normal di sekolah umum dengan bantuan guru khusus apabila anak mengalami kesulitan. Dalam kelas ini sisiwa yang berkebutuhan khusus dapat mendapat bantuan guru khusus selama proses pembelajaran.selain itu guru khusus melakukan beberapa evaluasi guna menilai apa saja yang dibutuhkan para siswa tunadaksa.

6. Kelas Biasa dengan Layanan Konsultasi untuk Guru Umum (Reguler Class Placement with Consulting Service for Reguler Teachers) 
Tanggung jawab pembelajaran model ini sepenuhnya dipegang oleh guru umum. Anak tunadaksa belajar bersama dengan anak normal di sekolah umum, dan untuk membantu kelancaran pembelajaran ada guru kunjung yang berfungsi sebagai konsultan guru reguler. 

7. Kelas Biasa (Reguler Class) 
Model ini diperuntukkan bagi anak tunadaksa yang memiliki kecerdasan normal, memiliki potensi dan kemampuan yang dapat belajar bersama-sama dengan anak normal. Dalam hal ini anak tunadaksa tersebut dinilai mampu berakifitas seperti murid pada umumnya walau dalam keterbatasan-keterbatasan yang dimilikinya.

Untuk sistem belajar anak tunadaksa dapat dibedakan menjadi:
1. Pendidikan integrasi (terpadu)
Hasil gambar untuk tuna daksaMeskipun kita tahu bahwa pendidikan anak tunadaksa di Indonesia mayoritas dilakukan di sekolah khusus, yaitu anak tunadaksa ditempatkan secara khusus di SLB-D (Sekolah Luar Biasa bagian D), namun untuk anak tunadaksa ringan (jenis poliomyelitis) ada yang telah mengikuti pendidikan di sekolah umum. Dari fakta itu maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pendidikan yang terpadu adalah:
a. Menyiapkan lingkungan belajar tambahan sehingga memungkinkan anak tunadaksa untuk bergerak sesuai dengan kebutuhannya, misalnya membangun trotoar, pintu agak besar sehingga anak dapat menggunakan kursi roda,
b. Menyiapkan program khusus untuk mengejar ketinggalan anak tunadaksa karena anak sering tidak masuk sekolah,
c. Guru harus mengadakan kontak secara intensif dengan siswanya untuk melihat masalah fisiknya secara langsung,
d. Perlu mengadakan rujukan ke ahli terkait apabila timbul masalah fisik dan kesehatan yang lebih parah,

2. Pendidikan segregasi (terpisah)
Penyelenggaraan pendidikan bagi anak tunadaksa yang ditempatkan di tempat khusus, seperti sekolah khusus adalah menggunakan kurikulum Pendidikan Luar Biasa Anak Tunadaksa 1994 (SK Mendikbud, 1994). Perangkat Kurikulum Pendidikan Luar Biasa 1994 terdiri atas komponen berikut. 
a. Landasan, Program dan Pengembangan Kurikulum, memuat hal-hal, yaitu landasan yang dijadikan acuan dan pedoman dalam pengembangan kurikulum, tujuan, jenjang dan satuan pelajaran, program pengajaran yang mencakup isi program, pengajaran, lama pendidikan dan susunan program pengajaran, pelaksanaan pengajaran dan penilaian, serta pengembangan kurikulum sebagai suatu proses berkelanjutan di tingkat nasional dan daerah. 
b. Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP) memuat: pengertian dan fungsi mata pelajaran, tujuan, ruang lingkup bahan pelajaran, pokok bahasan, tema dan uraian tentang kedalaman dan keluasan, alokasi waktu, rambu-rambu pelaksanaannya, dan uraian/cara pembelajaran yang disarankan. 
c. Pedoman pelaksanaan kurikulum memuat: pedoman pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar, rehabilitasi, pelaksanaan bimbingan, administrasi sekolah, dan pedoman penilaian kegiatan serta hasil belajar.

Lama pendidikan dan penjenjangan serta isi kurikulum tiap jenjang adalah sebagai berikut. 
a. TKLB (Taman Kanak-kanak Luar Biasa) berlangsung satu sampai tiga tahun dan isi kurikulumnya, meliputi pengembangan Kemampuan Dasar (Moral Pancasila, Agama, Disiplin, Perasaan, Emosi, dan Kemampuan Bermasyarakat), Pengembangan Bahasa, Daya Pikir, Daya Cipta, Keterampilan dan Pendidikan Jasmani. Usia anak yang diterima sekurang-kurangnya 3 tahun.
b. SDLB (Sekolah Dasar Luar Biasa) berlangsung sekurang-kurangnya enam tahun dan usia anak yang diterima sekurang-kurangnya enam tahun. Isi kurikulumnya terdiri atas: Program Umum meliputi mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Pendidikan Agama, Bahasa Indonesia, Matematika, IPS, IPA, Kerajinan Tangan dan Kesenian, serta Pendidikan Jasmani dan Kesehatan; program khusus (Bina Diri dan Bina Gerak), dan Muatan Lokal (Bahasa Daerah, Kesenian, dan Bahasa Inggris). 
c. SLTPLB (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa) berlangsung sekurang-kurangnya 3 tahun, dan siswa yang diterima harus tamatan SDLB. Isi kurikulumnya terdiri atas program umum (Pendidikan Pancasila, Kewarganegaraan, Pendidikan Agama, Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, Bahasa Inggris), program khusus (Bina Diri dan Bina Gerak), program muatan lokal (Bahasa Daerah, Kesenian Daerah). 
d. SMLB (Sekolah Menengah Luar Biasa) berlangsung sekurang-kurangnya tiga tahun, dan siswa yang diterima harus tamatan SLTPLB. Isi kurikulumnya meliputi program umum sama dengan tingkat SLTPLB, program pilihan terdiri atas paket Keterampilan Rekayasa, Pertanian, Usaha dan Perkantoran, Kerumahtanggaan, dan Kesenian. Di jenjang ini, anak tunadaksa diarahkan pada penguasaan salah satu jenis keterampilan sebagai bekal hidupnya. 

Lama belajar dan perimbangan bobot mata pelajaran untuk tiap jenjang adalah TKLB lama belajar satu jam pelajaran 30 menit, SDLB lama belajar satu jam pelajaran 30 dan 40 menit. Bobot mata pelajaran di SDLB yang tergolong akademik lebih banyak dari mata pelajaran yang lainnya, SLTPLB lama belajar satu jam pelajaran 45 menit dan bobot mata pelajaran keterampilan dan praktik lebih banyak daripada mata pelajaran lainnya; dan SMLB lama belajar sama dengan SLTPLB dan bobot mata pelajaran keterampilan lebih banyak dan mata pelajaran lainnya lebih diarahkan pada aplikasi dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam pelaksanaan pembelajaran, maka ada beberapa poin yang perlu diperhatikan seperti penataan lingkungan belajar, prinsip pembelajaran, serta perencaanaan kegiatan pembelajaran. Penataan lingkungan belajar yang sedemikian rupa dapat memberikan kenyamanan untuk anak tunadaksa seperti infrastruktur gedung yang menunjang seperti ruang poliklinik/UKS untuk pemeriksaan dan perawatan kesehatan anak, ruang untuk latihan bina gerak (physiotherapy), ruang untuk bina bicara (speech therapy), ruang untuk bina diri, terapi okupasi, dan ruang bermain, serta lapangan. 

Akses dalam gedung yang baik seperti jalan masuk menuju sekolah sebaiknya dibuat keras dan rata yang memungkinkan anak tunadaksa yang memakai alat bantu ambulasi, seperti kursi roda, tripor, brace, kruk, dan lain-lain, dapat bergerak dengan aman, tangga sebaiknya disediakan jalur lantai yang dibuat miring dan landai, lantai bangunan baik di dalam dan di luar gedung sebaiknya dibuat dari bahan yang tidak licin.

Serta komponen komponen bangunan yang harus diperhatikan seperti pintu-pintu ruangan sebaiknya lebih lebar dari pintu biasa dan daun pintunya dibuat mengatup ke dalam, pada beberapa dinding lorong dapat dipasang cermin besar untuk digunakan anak mengoreksi sendiri sikap/posisi jalan yang salah. Kelas sebaiknya dilengkapi dengan meja dan kursi yang konstruksinya disesuaikan dengan kondisi kecacatan anak, misalnya tinggi meja kursi dapat disetel, tanganan, dan sandaran kursi dimodifikasi, dan dipasang belt (sabuk) agar aman. Kamar mandi/kecil sebaiknya dekat dengan kelas-kelas agar anak mudah dan segera dapat menjangkaunya. Dipasang WC duduk agar anak tidak perlu berjongkok pada waktu menggunakannya.

Pendidikan anak tunadaksa sedapat mungkin memanfaatkan dan mengembangkan indra-indra yang ada dalam diri anak karena banyak anak tunadaksa yang mengalami gangguan indra. Dengan pendekatan multisensori, kelemahan pada indra lain dapat difungsikan sehingga dapat membantu proses pemahaman. 

Untuk memenuhi kebutuhan anak tunadaksa dalam belajar, maka tenaga kerja serta staf pengajar yang diperlukan dalam penyelenggaraan pendidikan anak tunadaksa adalah sebagai berikut:
1. Guru yang berlatar belakang pendidikan luar biasa, khususnya pendidikan anak tunadaksa,
2. Guru yang memiliki keahlian khusus, misalnya keterampilan dan kesenian,
3. Guru sekolah biasa,
4. Psikolog,
5. Dokter umum,
6. Dokter ahli ortopedi,
7. Neurolog,
8. Ahli terapi lainnya, seperti ahli terapi bicara, physiotherapist dan bimbingan konseling, serta orthotist prosthetist. 

Profil sekolah yang memberikan contoh penerap fasilitasi tunadaksa adalah SLB Kartini Batam yang berlokasi di jalan Raja Ali Haji Kompleks Sumber Agung Sei Jodoh Batu Ampar Batam. Sekolah tersebut memiliki visi yaitu: Terwujudnya Pelayanan Pendidikan Optimal Untuk Mencapai Kemandirian Bagi Anak – Anak Berkebutuhan Khusus Serta Yang Mempunyai Potensi Kecerdasan dan Bakat Istimewa.

Dan misi dari sekolah ini adalah :
1. Memperluas Kesempatan dan pemerataan Pendidikan bagi anak-anak yang mempunyai kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran dan anak-anak yang mempunyai potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
2. Meningkatkan Mutu dan Relevansi Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus.
3. Meningkatakan kepedulian dan memperluas jejaring tentang Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus.
4. Mewujudkan Pendidikan Inklusif secara baik dan benar di Lingkungan sekolah biasa, maupun keluarga/masyarakat.

Dari visi misi yang tersebut di atas dapat kita lihat bahwa sekolah ini cukup dapat memberikan fasilitasi untuk para penyandang cacat yang seharusnya mendapatkan fasilitasi yang cukup layak untuk mereka. Selain itu sekolah ini memiliki tenaga kerja yang cukup kompeten seperti Speech Terapi, Pisio Terapi Okupasi Terapi, Psikolog, Dokter THT, dan tenaga ahli komputer. Serta fasilitas yang ditawarkan juga cukup menunjang siswa penyandang cacat untuk dapat mengoptimalkan perkembangannya seperti: 
1. Ruang Belajar,
2. Perpustakaan, 
3. Work Shop Keterampilan,
4. Ruang Klinis,
5. Ruang Bimbingan Penyuluhan,
6. Ruang UKS,
7. Ruang Therapy Untuk Tuna Rungu, 
8. Ruang Therapy Untuk Tuna Grahita,
9. Ruang Therapy Untuk Tuna Daksa,
10. Lab. Tuna Netra,
11. Lab. Tuna Rungu,
12. Lab. Tuna Grahita,
13. Lab. Tuna Daksa,
14. Musholla.


SUMBER:
file.upi.edu
slbk-batam.org