Friday, August 19, 2016

Ketidakberdayaan Yang Dipelajari (Learned Helplessness)


Hasil gambar untuk helplessnessKonsep ketidakberdayaan yang dipelajari (learned helplessness) berasal dari percobaan Seligman (1965) pada hewan guna mengetahui hubungan antara rasa takut dan perilaku menghindar. Dalam penelitian tersebut didapatkan hasil perilaku hewan yang cenderung tidak memiliki inisiatif untuk melarikan diri ketika menghadapi stimulus yang menyakitkan yang tidak mungkin mereka hindari (Maier, Peterson, & Schwartz, 2000; Miller & Seligman, 1975). Kondisi learned helplessness menurut Abramson, dkk (dalam Sitompul, 2009), yaitu perasaan kurang mampu mengendalikan lingkungannya yang membimbing pada sikap menyerah atau putus asa dan mengarahkan pada atribusi diri yang kuat bahwa dia tidak memiliki kemampuan. 

Hipotesis ketidakberdayaan yang dipelajari menyatakan bahwa pembelajaran mengganggu pembentukan asosiasi antara respon melarikan diri (yaitu, pindah ke zona aman) dan penghentian shock. Pembelajaran ini kemudian melemahkan motivasi untuk mencoba untuk melarikan diri (Maier, Peterson, & Schwartz, 2000). Menurut teori ini, ketidakberdayaan yang dipelajari terjadi pertama kali ketika seseorang merasakan situasi sebagai stress yang tidak menguntungkan atau tantangan. Oleh karena itu, individu mengidentifikasi tindakan yang potensial untuk memanipulasi situasi untuk meredakan tantangan dan stress agar menjadi lebih menguntungkan. Setelah beberapa usaha yang gagal untuk mempengaruhi situasi untuk hasil yang diinginkan oleh individu, maka individu akan belajar untuk menerima hal yang tidak menyenangkan, yang menjadi stressor individu tersebut (Maier, Peterson, & Schwartz, 2000).

Menurut peneliti dari Grundvig Partnership (2010) mengemukakan definisi learned helplessness sebagai persepsi atau perasaan tidak mampu untuk merubah arah hidup seseorang, sebagai sebuah pembelajaran dari kegagalan sebelumnya. Penyebab dari ketidakberdayaan yang dipelajari dapat dikaitkan secara internal, eksternal atau keduanya, untuk individu atau kelompok sosial. Hal ini dapat mengakibatkan bentuk baru pengucilan yang mencegah perkembangan pribadi yang positif. 

Berdasarkan pengertian-pengertian yang dikemukakan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa definisi ketidakberdayaan yang dipelajari adalah kondisi dimana suatu organisme tidak memiliki kekuatan untuk bertindak dan keluar dari situasi yang menyakitkan ditambah lagi dengan kecenderungan dirinya untuk mengatribusikan situasi tersebut sebagai sesuatu yang bersifat internal, permanen, dan menyeluruh.
Hasil gambar untuk helplessness
Terdapat tiga komponen dasar yang menyebabkan terjadinya proses ketidakberdayaan yang dipelajari, yaitu: informasi yang tidak tentu mengenai apa yang akan terjadi, representasi kognitif (belajar, pengharapan, persepsi, dan kepercayaan), dan perilaku terhadap apa yang akan terjadi. 

Individu memiliki informasi yang tidak tentu mengenai hasil dari responnya terhadap suatu peristiwa. Informasi ini merupakan informasi yang berasal dari lingkungan individu (informasi objektif) dimana respon dan hasil dari respon merupakan dua hal yang berdiri sendiri, bukan informasi yang berasal dari individu sendiri (informasi subyektif). 

Informasi yang tidak tentu tersebut akan diproses dan ditransformasikan dikognitifnya. Komponen representasi kognitif (sistem kepercayaan) tersebut akan membangun pengharapan yang salah mengenai hasil dari responnya terhadap suatu peristiwa. Individu akan merasa bahwa respon yang baik akan menghasilkan hasil yang baik pula. Kenyataannya respon yang baik tidak selalu diiringi oleh hasil yang baik pula. Pengharapan yang salah tersebut akan menyebabkan individu tidak memiliki kontrol terhadap suatu peristiwa dimana respon dan hasil merupakan dua hal yang bebas. Individu yang tidak memiliki kontrol terhadap suatu peristiwa akan mengalami penurunan motivasi, kognitif, dan emosional. Ketiga penurunan tersebut akan memunculkan learned helplesseness (ketidakberdayaan yang dipelajari) mengenai bagaimana perilaku individu yang akan datang. 

Ketidakberdayaan juga memiliki hubungan dengan model eksplanatori pesimistik. Penelitian Peterson & Barrett (1987, dalam Martinez, 2000) menyatakan bahwa model eksplanatori pesimistik akan membuat individu mengarah kepada keadaan ketidakberdayaan. Pernyataan tersebut didukung oleh pernyataan Seligman (1976, dalam LeRoy, 1999) yang menyatakan bahwa model eksplanatori adalah regulator besar dari ketidakberdayaan yang dipelajari dan merupakan kebiasaan pemikiran yang dipelajari di masa kanak-kanak dan remaja. Ketika Individu mengalami situasi learned helplessness, maka konsekuensi negatif yang akan terjadi adalah penurunan motivasi dalam pemecahan masalah (Seligman, 1978; Mauk, 1979), perilaku dependen dan pasif (Slimmer, 1987), penurunan kemampuan koping perilaku, ekspresi emosi, dan associative learning (Overmier & Seligman, 1967).

Dimensi Ketidakberdayaan Yang Dipelajari 

Peneliti dari Grundvig Partnership (2010) mengemukakan definisi learned helplessness sebagai persepsi atau perasaan tidak mampu untuk merubah arah hidup seseorang, sebagai sebuah pembelajaran dari kegagalan sebelumnya. Penyebab dari ketidakberdayaan yang dipelajari dapat dikaitkan secara internal, eksternal atau keduanya, untuk individu atau kelompok sosial. Hal ini dapat mengakibatkan bentuk baru pengucilan yang mencegah perkembangan pribadi yang positif. Brdasarkan pengertian yang ada maka dapat dibuat dimensi dari learned helplessness yaitu: 
Hasil gambar untuk helplessness1. Inability(ketidakmampuan) 
Persepsi atau perasaan tidak mampu pada individu mengenai permasalahan yang dihadapinya. Individu akan merasa bahwa permasalahan yang dia hadapi merupakan permasalahan yang cukup sulit hingga individu tersebut merasa bahwa dia tidak memiliki kemampuan untuk mengatasi permasalahan yang ada. 
2. Personal Features(Fitur Personal) 
Kondisi personal pada individu dirasa akan menghambat seseorang dalam menyelesaikan permasalahan yang dimilikinya. Individu berpandangan bahwa tipe kepribadian, kondisi fisik, postur tubuh,serta masa lalu yang dia alami merupakan faktor penghambat dalam penyelesaian permasalahan yang dialami oleh individu. 
3. Social Features(Fitur Sosial) 
Kondisi fitur sosial pada individu dirasa akan menghambat seseorang dalam menyelesaikan permasalahan yang dimilikinya. Individu berpandangan bahwa latar belakang budaya, kurangnya pendidikan, serta kondisi lingkungan masyarakat merupakan faktor penghambat dalam penyelesaian permasalahan yang ada. 
4. Change Enables Conditions(kondisi untuk berubah) 
Individu merasa perubahan dalam dirinya adalah hal yang tidak mungkin. Individu mempersepsikan diri bahwa keadaan yang individu hadapi merupakan keadaan yang mustahil untuk dipecahkan karena individu merasa tidak ada jalan keluar dari permasalahan yang dihadapi. Kesempatan yang mungkin ada dipersepsikan sebagai sesuatu yang beresiko tinggi sehingga indiviu tersebut enggan untuk mengambil kesempatan yang ada yang mana didasarkan dari kegagalan yang pernah individu alami sebelumnya. Hal ini yang kemudian membuat individu enggan untuk mengambil kesempatan yang ada. 

Faktor Faktor Yang Mempengaruh 

Menurut Seligman (1975) terdapat tiga komponen yang menghasilkan learned helplessness pada perilaku individu selanjutnya. Adapun komponen komponen tersebut adalah: 
1. Penurunan motivasi (motivational deficit) 
Hasil gambar untuk helplessnessMenurut Maier & Seligman (1976) penurunan motivasi terjadi ketika kejadian yang tidak dapat dikontrol akan menurunkan motivasi seseorang untuk melakukan respon awal yang rendah dalam mengontrol kejadian yang akan datang. Penurunan motivasi dapat dilihat dari simptom-simptom sebagai berikut: 
a. Respon awal yang rendah, dimana terjadinya penurunan untuk merespon segala sesuatu tindakan, tekanan suara yang menurun, isolasi dan penolakan, tidak dapat membuat keputusan sendiri, menjadi pasif, retardasi psikomotor, perlambatan kemampuan intelektual, tidak memiliki kepekaan sosial. 
b. Selalu menunda hal yang akan dilakukan (procrastination). 
c. Melakukan sedikit usaha untuk keluar dari stimulus yang berbahaya. 
2. Penurunan kemampuan kognitif (cognitive deficit) 
Menurut Maier & Seligman (1976) penurunan kognitif akan menghasilkan kesulitan dalam mempelajari respon untuk sukses. Individu akan percaya bahwa kesuksesan dan kegagalan adalah suatu hal yang terpisah. Bila individu memproses pengaruh lingkungan (yang dalam hal ini adalah kejadian yang tidak terkontrol) dalam kognitifnya dan sampai pada believe atau keyakinannya maka hal inilah yang membuat individu tersebut tidak dapat keluar dari situasi tersebut. Penurunan kognitif dapat dilihat dari simptom-simptom sebagai berikut: 
a. Set kognitif yang negatif, dimana adanya pemikiran-pemikiran negatif, hal-hal yang kecil menjadi sesuatu yang besar dan kesulitan dalam menghadapi suatu masalah dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat diselesaikan. 
b. Kesulitan untuk mempelajari respon sukses, walaupun respon sukses dapat dilakukan dengan berhasil. 
c. Memperlambat kontrol persepsi
3. Penurunan Emosional (emotional deficit) 
Menurut Seligman (1975) penurunan emosional adalah dimana seseorang menunjukkan ketidakmampuan dalam mengontrol situasi yang tidak menyenangkan. Maier & Seligman (1976) menambahkan bahwa bila terjadi peristiwa traumatik yang menyebabkan tingkat emosional yang tinggi atau biasa disebut dengan ketakutan “fear”. Ketakutan yang berlanjut menyebabkan seseorang belajar untuk dapat mengontrol trauma atau tidak trauma ketakutantersebut. Jika seseorang dapat mengontrol trauma tersebut maka ketakutan akan menurun dan menghilang, tapi jika seseorang tidak dapat mengontrol kejadian traumatik tersebut maka ketakutan akan meningkat dan digantikan menjadi depresi. Penurunan emosional dapat dilihat dari simptom-simptom sebagai berikut: 
a. Agresi yang rendah, dimana ketidakberdayaan menjadi awal dari penurunan agresi dan respon untuk dapat bersaing, dan status dominasi seseorang akan berkurang. 
b. Kehilangan nafsu makan; dimana ketidakberdayaan akan menurunkan berat badan seseorang, dan penurunan dalam hal seksual dan sosial. 
c. Luka dan stress
d. Perubahan fisiologis; dimana terjadi perubahan pada neuron dan hormon. Seperti cathecholamine. 
e. Mc Kein (dalam Cemalcilar, Canbeyli dan Sunar, 2003) menyatakan bahwa penurunan emosional biasanya meliputi dysphasia atau depressed mood yang diikuti dengan hasil akhir yang negatif. 


Kriteria Ketidakberdayaan Yang Dipelajari 


Menurut Seligman (dalam Miller, 2006), learned helplessness adalah kecenderungan untuk mengatribusikan kejadian sebagai: 
1. Personalisasi internal: dijelaskan bahwa semua kejadian yang buruk disebabkan karena dirinya sendiri, sedangkan kejadian yang baik disebabkan karena lingkungan eksternal (ketidakberdayaan atau helplessness bersumber dari diri sendiri). 
2. Secara keseluruhan pervasive: dijelaskan bahwa keyakinan akan kegagalan akan menyebabkan kegagalan disemua aspek kehidupannya tidak terkecuali pada situasi yang spesifik (ketidakberdayaan atau helplessness digeneralisasi pada semua situasi). 
3. Permanen: dijelaskan bahwa sesuatu itu memiliki jangka waktu dan tidak akan berubah (ketidakberdayaan atau helplessness akan menjadi kronik).

Sumber:
Prayogo, Denda. (2015). Hubungan antara adversity dan ketidakberdayaan yang dipelajari  pada anak berhadapan dengan hukum di Rumah Tahanan Surabaya, Skripsi. Surabaya: Fakultas Psikologi Unair  

Tuesday, August 16, 2016

Postmodernisme dan Konstruksi Teoritik yang Membentuknya

Post-modernisme yang biasa di sebut dengan pasca modernisme pertama kali muncul pada pertengahan abad ke-20. Tepatnya pada tahun berapa aliran ini berdiri masih belum mendapatkan informasi yang jelas dikarenakan, para tokoh-tokoh tersebut mencetuskan aliran ini dalam waktu yang relatif bersamaan dan dan di lain tempat. Seperti di Amerika Serikat post-modernisme mulai menjadi wacana di bidang arsitektur, kritik sastra, dan sosiologi pada tahun 1970an, dan sekitar pada tahun tersebutlah post-modernisme mulai berkembang di Prancis.

Pasca moderenisme berdiri pada awalnya digunakan untuk sangkalan beberapa keyakinan pada abad modern, khususnya pada filsafat (epistimologi), ilmu pengetahuan, dan nasionalitas. Pasca modernisme ini merupakan luapan ekspresi kultural guna menjabarkan pada dunia luar tentang realitas dan fiksi yang di lakukan oleh para awak media massa.

Pada dasarnya post-modernisme itu bersifat ekletis dan mempunyai jenis yang bermacam-macam, akan tetapi bisa di persingkat dengan di angkatnya dua asumsi dasar saja. Asumsi pertama adalah tidak ada denominator umum dalam “alam, kebenaran, tuhan, atau masa depan” baik dari pemikiran umum, maupun objektif. Asumsi ini mungkin menjelaskan tentang tidak adanya kebenaran yang mutlak dari berbagai aspek yang disebutkan di atas. Tetapi hal tersebut hanya opini dari saya, dan masih sangat di ragukan kebenarannya. Asumsi kedua adalah bahwa semua sistem manusia beroperasi, seperti bahasa yang lebih bersifat refleksif dari pada bersifat referensial. Dari pernyataan di atas, saya masih belum memahai dari asumsi kedua post-modernisme tersebut.Pasca modernisme memiliki banyak kesamaan dengan berbagai aliran filsafat lainnya yaitu romantisme, eksistensialisme, dan filsafat-filsafat dari kelompok sofis dan skeptis. Aliran pasca modernisme iini memberikan kontribusi terhadap aliran-aliran filsafat yang telah disebutkan di atas mengenai keyakinan bahwa “kebenaran” selalu bersifat relatif baik di tinjau secara kelompok umum maupun oleh personal. 

Pernyataan tentang pasca modernisme di atas menurut saya kurang relevan dan nalar karena jelas bahwa aliran pasca modernisme ini berdiri jauh setelah aliran-aliran filsafat tersebut lahir. Atau yang di maksudkan oleh filsuf tersebut bahwa kesamaan antara pasca modernisme dan aliran-aliran filsafat yang lain adalah paradigma berpikir tentang kebenarannya. 

Beberapa tokoh pasca modernisme antara lain adalah Jean baudrillard, Marguerite Duras, Frans Kafka, dan Jean Francois Lyotard yang berasal dari Prancis yang berhasil menganalisis tentang status pengetahuan. Aliran post-modernisme ini menurut saya masih sangat ambigu dikarenakan tidak ada hubungan relevan tentang teori-teori yang telah dikemukakan oleh para tokoh-tokohnya dan teori tersebut sangat sulit untuk dipahami apalagi di aplikasikan.

Sumber:
Wiramihardja, Prof. Dr. Sutardjo. (2006). Pengantar Filsafat. PT. Refika Aditama: Bandung.

Tuesday, August 9, 2016

Resiliensi

Resiliensi dapat didefinisakan sebagai daya lenting sesorang terhadap situasi sulit, dan Setiap individu memiliki atribut-atribut yang berbeda dalam menghadapi bebagai kesulitan yang dihadapi. Definisi lain yang diambil dari bebrapa studi yaitu kemampuan individu untuk menghadapi dan bangkit kembali dari kesulitan (Greene, Galambos, & Lee, 2003), atau kapasitas untuk mengatur kemampuan dalam menghadapi pokok dari penyebab stress (Kaplan, 1996)

Hasil gambar untuk resiliensiSecara umum resiliensi dapat didefinisakan sebagai daya lenting sesorang setelah mengalami kondisi terpuruk. Resiliensi juga dapat diartikan sebagai kapasitas yang dimiliki seseorang, kelompok atau masyarakat yang memungkinkan untuk menghadapi, mencegah, meminimalkan dan bahkan menghilangkan dampak-dampak yang merugikan dari kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan. 

Resiliensi dibutuhkan individu untuk merespon seesuatu dengan cara yang sehat dan produktif ketika berhadapan dengan trauma terutama mengendalikan tekanan hidup sehari-hari. Resiliensi pada diri seseorang menjelaskan kompetensi dan kemampuan untuk menyesuaikan diri (Santrock, 2003). Seseorang akan memiliki resiliensi apabila mereka mampu mempertahankan kondisinya kembali seperti awal setelah ia mengalami pengalaman negatif dalam hidupnya. Menurut Santrock (2003), sumber resiliensi individu berasal dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal merupakan sumber resiliensi yang berasal dari individu itu sendiri. Sedangkan, faktor eksternal merupakan sumber resiliensi yang berasal dari luar individu.

Pembentukan resiliensi akan menghasilkan 3 aspek utama, yakni I have, I can, dan I am (Grotberg, 1999). Pengertian I have adalah sebuah dukungan dari setiap individu disekitar untuk beresiliensi. Kemudian I am, adalah sebuah dorongan dalam membangun kepercayaan diri, self esteem, dan tanggung jawab. Pengertian yang berikutnya yaitu I can, akuisisi dari interpersonal dan kemampuan memecahkan permasalahan. Berikut ini penjelasan untuk masing masing aspek resiliensi:

1) I Have 

Faktor “I Have” merupakan dukungan eksternal dan sumber dalam meningkatkan daya lentur. Sebelum seseorang menyadari akan siapa dirinya (I Am) atau apa yang bisa dia lakukan (I Can), manusia membutuhkan dukungan eksternal dan sumberdaya untuk mengembangkan perasaan keselamatan dan keamanan yang meletakkan fondasi, yaitu inti untuk mengembangkan resilience.

Aspek ini merupakan bantuan dan sumber dari luar yang meningkatkan resiliensi. Sumber-sumbernya adalah adalah sebagai berikut :

a. Trusting relationships (mempercayai hubungan) 
Orang tua, anggota keluarga lainnya, guru, dan teman-teman yang mengasihi dan menerima individu tersebut. Individu-individu dari segala usia membutuhkan kasih sayang tanpa syarat dari orang tua mereka dan pemberi perhatian primer (primary care givers), tetapi mereka membutuhkan kasih sayang dan dukungan emosional dari orang dewasa lainnya juga. Kasih sayang dan dukungan dari orang lain kadang-kadang dapat mengimbangi terhadap kurangnya kasih sayang dari orang tua.

b. Struktur dan aturan di rumah
Orang tua yang memberikan rutinitas dan aturan yang jelas, mengharapkan individu mengikuti perilaku mereka, dan dapat mengandalkan individu untuk melakukan hal tersebut. Aturan dan rutinitas itu meliputi tugas-tugas yang diharapkan dikerjakan oleh individu. Batas dan akibat dari perilaku tersebut dipahami dan dinyatakan dengan jelas. Jika aturan itu dilanggar, individu dibantu untuk memahami bahwa apa yang dia lakukan tersebut salah, kemudian didorong untuk memberitahu dia apa yang terjadi, jika perlu dihukum, kemudian dimaafkan dan didamaikan layaknya orang dewasa. Orang tua tidak mencelakakan individu dengan hukuman, dan tidak ada membiarkan orang lain mencelakakan individu tersebut.

c. Role models
Orang tua, orang dewasa lain, kakak, dan teman sebaya bertindak dengan cara yang menunjukkan perilaku individu yang diinginkan dan dapat diterima, baik dalam keluarga dan orang lain. Mereka menunjukkan bagaimana cara melakukan sesuatu, seperti berpakaian atau menanyakan informasi dan hal ini akan mendorong individu untuk meniru mereka. Mereka menjadi model moralitas dan dapat mengenalkan individu tersebut dengan aturan-aturan agama.

d. Dorongan agar menjadi otonom
Orang dewasa, terutama orang tua, mendorong individu untuk melakukan sesuatu tanpa bantuan orang lain dan berusaha mencari bantuan yang mereka perlukan untuk membantu individu menjadi otonom. Mereka memuji individu tersebut ketika dia menunjukkan sikap inisiatif dan otonomi. Orang dewasa sadar akan temperamen individu, sebagaimana temperamen mereka sendiri, jadi mereka dapat menyesuaikan kecepatan dan tingkat tempramen untuk mendorong individu untuk dapat otonom.

e. Akses pada kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, dan layanan keamanan.
Individu-individu secara individu maupun keluarga, dapat mengandalkan layanan yang konsisten untuk memenuhi kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi oleh keluarganya yaitu rumah sakit dan dokter, sekolah dan guru, layanan sosial, serta polisi dan perlindungan kebakaran atau layanan sejenisnya.

2. I Am

Faktor I Am merupakan kekuatan yang berasal dari dalam diri sendiri. Faktor ini meliputi perasaan, sikap, dan keyakinan di dalam diri. Ada beberapa bagian-bagian dari faktor dari I Am yaitu : 

Perasaan dicintai dan perilaku yang menarik 
Individu tersebut sadar bahwa orang menyukai dan mengasihi dia. Individu akan bersikap baik terhadap orang-orang yang menyukai dan mencintainya. Seseorang dapat mengatur sikap dan perilakunya jika menghadapi respon-respon yang berbeda ketika berbicara dengan orang lain. 

Mencintai, empati, dan altruistic 
Individu mengasihi orang lain dan menyatakan kasih sayang tersebut dengan banyak cara. Dia peduli akan apa yang terjadi pada orang lain dan menyatakan kepedulian itu melalui tindakan dan kata-kata. Individu merasa tidak nyaman dan menderita karena orang lain dan ingin melakukan sesuatu untuk berhenti atau berbagi penderitaan atau kesenangan. 

Bangga pada diri sendiri 
Individu mengetahui dia adalah seseorang yang penting dan merasa bangga pada siapakah dirinya dan apa yang bisa dilakukan untuk mengejar keinginannya. Individu tidak akan membiarkan orang lain meremehkan atau merendahkannya. Ketika individu mempunyai masalah dalam hidup, kepercayaan diri dan self esteem membantu mereka untuk dapat bertahan dan mengatasi masalah tersebut. 

Otonomi dan tanggung jawab 
Individu dapat melakukan sesuatu dengan caranya sendiri dan menerima konsekuensi dari perilakunya tersebut. Individu merasa bahwa ia bisa mandiri dan bertanggung jawab atas hal tersebut. Individu mengerti batasan kontrol mereka terhadap berbagai kegiatan dan mengetahui saat orang lain bertanggung jawab. 

Harapan, keyakinan, dan kepercayaan 
Individu percaya bahwa ada harapan baginya dan bahwa ada orang-orang dan institusi yang dapat dipercaya. Individu merasakan suatu perasaan benar dan salah, percaya yang benar akan menang, dan mereka ingin berperan untuk hal ini. Individu mempunyai rasa percaya diri dan keyakinan dalam moralitas dan kebaikan, serta dapat menyatakan hal ini sebagai kepercayaan pada Tuhan atau makhluk rohani yang lebih tinggi.

3. I Can

“I can” adalah kemampuan yang dimiliki individu untuk mengungkapkan perasaan dan pikiran dalam berkomunikasi dengan orang lain, memecahkan masalah dalam berbagai seting kehidupan (akademis, pekerjaan, pribadi dan sosial) dan mengatur tingkah laku, serta mendapatkan bantuan saat membutuhkannya. Ada beberapa aspek yang mempengaruhi faktor I can yaitu : 
Hasil gambar untuk resiliensi
Berkomunikasi 
Individu mampu mengekspresikan pemikiran dan perasaan kepada orang lain dan dapat mendengarkan apa yang dikatakan orang lain serta merasakan perasaan orang lain. 

Pemecahan masalah 
Individu dapat menilai suatu permasalahan, penyebab munculnya masalah dan mengetahui bagaimana cara mecahkannya. Individu dapat mendiskusikan solusi dengan orang lain untuk menemukan solusi yang diharapkan dengan teliti. Dia mempunyai ketekunan untuk bertahan dengan suatu masalah hingga masalah tersebut dapat terpecahkan. 

Mengelola berbagai perasaan dan rangsangan 
Individu dapat mengenali perasaannya, memberikan sebutan emosi, dan menyatakannya dengan kata-kata dan perilaku yang tidak melanggar perasaan dan hak orang lain atau dirinya sendiri. Individu juga dapat mengelola rangsangan untuk memukul, melarikan diri, merusak barang, berbagai tindakan yang tidak menyenangkan. 

Mengukur temperamen diri sendiri dan orang lain. 
Individu memahami temperamen mereka sendiri (bagaimana bertingkah, merangsang, dan mengambil resiko atau diam, reflek dan berhati-hati) dan juga terhadap temperamen orang lain. Hal ini menolong individu untuk mengetahui berapa lama waktu yang diperlukan untuk berkomunikasi, membantu individu untuk mengetahui kecepatan untuk bereaksi, dan berapa banyak individu mampu sukses dalam berbagai situasi. 

Mencari hubungan yang dapat dipercaya 
Individu dapat menemukan seseorang misalnya orang tua, saudara, teman sebaya untuk meminta pertolongan, berbagi perasaan dan perhatian, guna mencari cara terbaik untuk mendiskusikan dan menyelesaikan masalah personal dan interpersonal.


Sumber:
Grotberg, Edith. (1999). Countering depression with the five building blocks of resilience. Journal of Reaching Today's Youth, 4, 1, 66-72. 
Grothberg, E. (1995). A Guide to Promoting Resilience in Children: Strengthening the Human Spirit. The Series Early Childhood Development : Practice and Reflections. Number8. The Hague : Benard van Leer Voundation. 
Grothberg, E. (1999). Tapping Your Inner Strength, Oakland, CA : New Harbinger Publication, Inc.
Santrock. (2003). Life Span Development

"Semangat ya"