Kontribusi dari pencetus psikologi humanistik adalah memperkenalkan
kembali konsep “self‟ ke dalam pembahasan psikologi. Sejak awal psikologi
humanistik ditulis, terdapat perubahan yang signifikan pada bidang psikologi
dan teori filosofis. Semakin lama, pencetus psikologi humanistik semakin
melibatkan pandangan behavioris dan psikoanalitis dalam keseharian mereka
sehingga muncul kebutuhan bagi psikolog humanis untuk lebih menyatu dengan
psikologi dan filosofi akademik. Pengetahuan yang dimiliki oleh pencetus
psikologi humanistik perlu dirumuskan kembali untuk memperjelas pertentangan
sementara yang terjadi dalam pemahaman humanistik mengenai self dan
aktualisasinya. Chapter ini menunjukkan dasar dari keterkaitan dan perumusan
kembali tersebut. The Founders‟ View of
The Self Self merupakan topik yang
penting selama periode awal dari sejarah psikologi, dan merupakan pusat dari
beberapa penulis, seperti James (1890) dan Baldwin (1916). Meskipun demikian,
munculnya behaviorism pada tahun 1920an membuat disiplin tersebut mulai
meninggalkan perhatiannya terhadap self (Epstein, 1980). Setelah itu, akademi
psikologi Amerika menyerahkan kelanjutan perkembangan dari gagasan self kepada
sosiolog, seperti Cooley, Mead, dan Goffman (Danzinger, 1997). Dengan demikian,
ketika psikolog humanistik Allport (1955) memanggil self untuk dimasukkan
kembali ke dalam bahasan psikologi, panggilan tersebut bukan merupakan pekerjaan
lanjutan dari self yang pernah berlangsung di psikologi, melainkan lebih ke
panggilan untuk memperkenalkan penekanan yang baru bagi self kembali pada
psikologi. Pencetus psikologi humanistik lainnya, seperti Maslow, Rogers, May,
dan Bugental, juga berpendapat bahwa gagasan mengenai self perlu diperkenalkan
kembali ke dalam teori psikologi agar dapat memahami kehidupan manusia.
Self menjadi landasan dari pandangan tentang perkembangan dari
kemungkinan-kemungkinan yang melekat pada eksistensi manusia, serta proses dimana beberapa perubahan positif
terjadi pada psikoterapi mereka terhadap klien. The Self as the Tendency for
Growth Rogers berpendapat bahwa semua makhluk hidup memiliki pola dasar dari
perubahan dinamis yang berfungsi untuk membawa mereka ke arah perkembangan yang
utuh dan matang. Pada manusia, pola ini berrsifat bawaan dan tidak hanya
mencakup pertumbuhan fisik seseorang tetapi juga pertumbuhan psikis ke arah
potensi yang unik dan utuh, yang melekat pada diri individu. Self merupakan kecenderungan
alami tersebut, atau dorongan untuk mengaktualisasikan keutuhan seseorang.
Secara keseluruhan, para pencetus memahami bahwa self merupakan dorongan yang
dimiliki individu untuk mengembangkan keutuhan yang melekat pada eksistensi
manusia, namun dorongan yang dimaksud dalam konteks ini berbeda dengan konsep
ego yang dikemukakan Freud. Freud menganggap ego sebagai agen yang relatif
lemah, pasif, dan berfungsi untuk menegosiasikan antara batasan sosial
diinternalisasi (superego) dan kebutuhan untuk mengurangi ketegangan dibangun
dari dorongan id yang tidak dilepas. Dengan kata lain, ego yang didefinisikan
oleh Freud berbeda dengan karakteristik sentral dari self, yakni kecenderungan
positif untuk bertumbuh. The Self Versus the Self-Concept Pemahaman seseorang
mengenai siapa dan apa sebenarnya mereka disebut sebagai self-concept.
Perbedaan yang mendasar antara self dan self concept berasal dari posisi
pencetus bahwa manusi bertindak dan merespon atas dasar pemahaman mereka akan
bagaimana sesuatu itu, bukan bagimana yang sebenarnya. Rogers berkata bahwa
seseorang tidak bereaksi terhadap suatu realitas mutlak, tetapi lebih pada
persepsinya terhadap realita, sehingga persepsi ini menjadi sebuah realita
baginya (Rogers, 1951). Self Actualization Menurut penemu teori ini, yang
menjadi tujuan utama seseorang hidup adalah untuk memenuhi semua aspek atau
potensi diri yang memang sudah melekat pada diri manusia sejak dulu. Hal ini
dilakukan untuk memaksa dirinya tumbuh menjadi lebih baik dengan kemampuannya
tersebut guna memenuhi jati dirinya sebagai manusia. Salah satu aksesnya adalah
ketika hal tersebut muncul dlam konsep diri yang nyata atau sadar. Ketika hal
itu terjadi, seseorang akan mampu membuat keputusan-keputusan yang
menggambarkan tentang nilai dari dirinya dan akan mempunyai kemampuan dalam
menyusun berbagai kemungkinan-kemungkinan didalam hidupnya. Konsep ini sudah
cukup menggambarkan bagaimana kompleksnya wujud aktualisasi manusia sebagai
makhluk hidup. Konsep aktualisasi diri ini menunjukan bagaimana seseoang
berkembang mengarah menuju harapan dan cita-cita hidupnya.
Tantangan Baru untuk Memahami “Self”
Psikologi kognitif menghindari ide-ide tentang diri, meskipun itu
berkaitan dengan konsep diri. Filsafat postmodern menolak gagasan tentang diri,
meskipun ia memiliki banyak pertanyaan tentang apa yang salah dengan ide.
Namun, jika psikologi humanistik terlahir untuk meluncurkan renaisans (Taylor,
1999), maka akan membutuhkan pandangan tentang psikologi dan filsafat yang ada
saat ini. Para pendiri telah mengubah ide-ide penulis eksistensial dan
fenomenologis sebagai bentuk perhatian mereka atas bertolak belakangnya gagasan
tersebut dengan behaviorisme dan psikoanalisis, karena itu ada ide dari teori
masa kini yang dapat menawarkan dukungan untuk gagasan psikologi humanistik
tentang diri. Empat dari gagasan-gagasan ini bersumber dari Neisser tentang
pengetahuannya mengenai diri. Tidak adanya “Self” di Filsafat Postmodernisme
Sebelum postmodernisme, self memiliki tempat sentral dalam pandangan teologis
dan filosofis dari barat. Penulis postmodernis telah menyerang gagasan tentang
diri dan menyatakan bahwa gagasan eksistensi diri adalah kesalahan filosofis
dimana kita keliru mengartikan arti dari konsep diri. Pandangan postmodernis
mengatakan bahwa meskipun seseorang memiliki konsep diri, tidak ada konsep yang
mengacu pada diri mereka, dengan kata lain, konsep tersebut merupakan konsep
kosong. Tema utama pada pemikiran postmodern adalah pikiran merupakan refleksi
dari bahasa seseorang, bukan merupakan objek dari dunia. Jadi, meskipun ada
kata self, tidak berarti bahwa di dunia ini ada yang disebut dengan self.
Postmodern menganggap bahwa self merupakan ciptaan fiksi dari grammar Western
dan skema kognitif. Pandangan humanistik mengenai actual self dianggap tidak
ada karena di dunia ini memang tidak ada actual self.
Pandangan Kontemporer Humanistik tentang Self Self-Knowledge Neisser
Teori Neisser (Neisser, 1988, 1993a; Neisser & Fivush, 1994; Neisser &
Jopling, 1997) setuju dengan posmodernisme yang menolak ide tentang “an inner
self of some kind, a "real me" who is (or should be) ultimately responsible for
behavior” (Neisser, 1993b, p.3). Neisser lebih setuju dengan filosofi
kontemporer mengenai neuroscience yang menyatakan bahwa “the brain is not
organized by any Cartesian flow toward and from some inmost center” (p.4).
Bagaimanapun juga, posisi ini tidak membuat Neisser menolak ide tentang self.
Menurunya, self adalah keseluruhan dari manusia dilihat dari sudut pandang
tertentu. Self dapat mempengaruhi keseluruhan fungsi manusia itu sendiri. Teori
Maslow tentang pencapaian needs menunjukkan bahwa self sangat berpengaruh pada
perkembangan berbagai aspek dalam manusia. Neisser menjelaskan pola self
sebagai berbagai aspek dalam kepribadian manusia yang digunakan sebagai
identitas oleh individu tersebut. Neisser fokus pada perbedaan bentuk informasi
yang dialami oleh self. Neisser mengidentifikasi lima aspek, yaitu the
ecological self, the interpersonal self, the extended self, the private self,
dan the conceptual self. The ecological self adalah pengertian self yang
berkaitan dengan lingkungan fisik dan efek yang dihasilkan pada lingkungan itu
sendiri. “Saya adalah seseorang di tempat ini, sedang melakukan aktivitas
tertentu” (Neisser, 1998, p. 36). Pengetahuan dari interpersonal self
diinformasikan secara langsung melalui pengalaman emosional dan komunikasi
langsung yang diperoleh dari interaksi dengan orang lain. Pengalaman ekologis
dan interpersonal yang dialami individu akan terus berlangsung selama hidup
individu tersebut. Tiga tipe informasi lainnya diperoleh dari pemikiran
reflektif manusia tersebut. The extended self didasarkan oleh ingatan personal
dan impian masa depan. The private self merupakan kesimpulan dari pengalaman unik
yang dirasakan individu, yang tidak dirasakan oleh orang lain. The conceptual
self adalah apa yang dipercaya oleh individu mengenai dirinya sendiri. Lakoff
and Johnson's Philosophy of the Flesh Lakoff dan Johnson (Lakoff, 1987; Lakoff
& Johnson 1980, 1981, 1999) membedakan dua generasi dalam pengembangan
pengetahuan ilmiah kognitif. Generasi pertama yang dikembangkan sekitar tahun
1950 dan 1960 sama seperti psikologi humanistik, sebagai pergerakan untuk
memperbaiki ketergantungan psikologi terhadap pemahaman behavioris tentang
manusia. Bagaimanapun juga, hal tersebut mengubah arah pandang ketika
pendekatannya membahas komputer terbaru sebagai model dari fungsi mental
(Gardner, 1985). Generasi kedua dari pengetahuan ilmiah kognitif yang muncul
sekitar tahun 1970 diragukan oleh gagasan bahwa pikiran tidak terpengaruh oleh
tubuh dan tidak diperintahkan menurut pola-pola logika formal. Pandangan
generasi kedua ini berasal dari penemuan penelitian yang menunjukkan (a)
terdapat ketergantungan konsep yang kuat dan pemikiran terhadap tubuh, (b)
"proses imajinasi khususnya metafora, perumpamaan, prototip, frame, mental
spaces, dan kategori radikal" (Lakoff & Johnson, 1999, p.77 dalam
Schneider, et.al, 2001) adalah pusat untuk konseptualisasi dan pemikiran.
Lakoff dan Johnson (dalam Schneider, et.al, 2001) mengungkapkan bahwa
pikiran berhubungan dengan tubuh dan gagasan kebanyakan terjadi secara tidak
sadar. mereka menyatakan bahwa gagasan tidak berhubungan dengan alam pemikiran,
sebaliknya itu adalah sebuah aktivitas dari tubuh itu sendiri. pandangan Lakoff
dan Johnson bahwa sebagian besar pikiran terjadi di luar kesadaran juga
disetujui oleh pandangan Rogers yaitu proses kecenderungan untuk pertumbuhan
adalah tidak di dalam kontrol kesadaran. Gendlin's Intricacy and Self Gendlin
(1962, 1997; see also Levin, 1997 dalam Schneider, et.al, 2001) adalah seorang
psikoterapis dan filsuf. Teori yang dikemukakan memiliki hubungan dengan
psikologi humanistik. Gendlin berfokus pada hubungan antara pengalaman dan
konsep yang digunakan untuk menyusun pengalaman. Pendapat yang dikemukakan oleh
Gendlin bertentangan dengan postmodern. Dia menyatakan bahwa pengalaman bukan
merupakan struktur yang dikenakan secara budaya, sebaliknya pengalaman adalah hasil dari interaksi yang lebih
mendasar antara orang dan dunia. Proses mengalami adalah interaksi kita
terhadap situasi dalam kehidupan dan pemaknaan secara jasmani bahwa situasi
tersebut ada untuk kita. Proses mengalami memiliki susunan yang lebih kompleks
daripada yang dilakukan oleh bahasa. Perkataan menjadi lebih bermakna ketika
itu digunakan untuk berkomunikasi dan terefleksi pada pengalaman yang
dirassakan oleh seseorang.
Gendlin membuka ruangan dimana pengalaman diri seseorang dapat
terjadi. Pengetahuan terjadap diri adalah pengetahuan yang dirasakan oleh
tubuh, bukan susunan konseptual. Self atau diri adalah hubungan yang secara
kompleks terjalin dalam pengalaman interaksi seseorang yang ada antara orang
tersebut dengan dunianya. Usaha Gendlin mengarahkan psikologi humanistik kepada
pemahaman bahwa self ada di luar
bayangan yang dibayangkan yang dibentuk oleh kategori secara budaya.
Sumber:
Tugas Kuliah Ria, Dkk Psikologi Humanistik Unair 2013
Schneider, K. J., Burgental, J. F. T. & Pierson, J. F. (2001). The
Handbook of Humanistic Psychology. California: Sage Publication, inc.
No comments:
Post a Comment