Wednesday, March 9, 2016

Self dan Humanisme



Hasil gambar untuk selfKontribusi dari pencetus psikologi humanistik adalah memperkenalkan kembali konsep “self‟ ke dalam pembahasan psikologi. Sejak awal psikologi humanistik ditulis, terdapat perubahan yang signifikan pada bidang psikologi dan teori filosofis. Semakin lama, pencetus psikologi humanistik semakin melibatkan pandangan behavioris dan psikoanalitis dalam keseharian mereka sehingga muncul kebutuhan bagi psikolog humanis untuk lebih menyatu dengan psikologi dan filosofi akademik. Pengetahuan yang dimiliki oleh pencetus psikologi humanistik perlu dirumuskan kembali untuk memperjelas pertentangan sementara yang terjadi dalam pemahaman humanistik mengenai self dan aktualisasinya. Chapter ini menunjukkan dasar dari keterkaitan dan perumusan kembali tersebut.   The Founders‟ View of The Self  Self merupakan topik yang penting selama periode awal dari sejarah psikologi, dan merupakan pusat dari beberapa penulis, seperti James (1890) dan Baldwin (1916). Meskipun demikian, munculnya behaviorism pada tahun 1920an membuat disiplin tersebut mulai meninggalkan perhatiannya terhadap self (Epstein, 1980). Setelah itu, akademi psikologi Amerika menyerahkan kelanjutan perkembangan dari gagasan self kepada sosiolog, seperti Cooley, Mead, dan Goffman (Danzinger, 1997). Dengan demikian, ketika psikolog humanistik Allport (1955) memanggil self untuk dimasukkan kembali ke dalam bahasan psikologi, panggilan tersebut bukan merupakan pekerjaan lanjutan dari self yang pernah berlangsung di psikologi, melainkan lebih ke panggilan untuk memperkenalkan penekanan yang baru bagi self kembali pada psikologi. Pencetus psikologi humanistik lainnya, seperti Maslow, Rogers, May, dan Bugental, juga berpendapat bahwa gagasan mengenai self perlu diperkenalkan kembali ke dalam teori psikologi agar dapat memahami kehidupan manusia.

Self menjadi landasan dari pandangan tentang perkembangan dari kemungkinan-kemungkinan yang melekat pada eksistensi manusia, serta  proses dimana beberapa perubahan positif terjadi pada psikoterapi mereka terhadap klien. The Self as the Tendency for Growth Rogers berpendapat bahwa semua makhluk hidup memiliki pola dasar dari perubahan dinamis yang berfungsi untuk membawa mereka ke arah perkembangan yang utuh dan matang. Pada manusia, pola ini berrsifat bawaan dan tidak hanya mencakup pertumbuhan fisik seseorang tetapi juga pertumbuhan psikis ke arah potensi yang unik dan utuh, yang melekat pada diri individu. Self merupakan kecenderungan alami tersebut, atau dorongan untuk mengaktualisasikan keutuhan seseorang. Secara keseluruhan, para pencetus memahami bahwa self merupakan dorongan yang dimiliki individu untuk mengembangkan keutuhan yang melekat pada eksistensi manusia, namun dorongan yang dimaksud dalam konteks ini berbeda dengan konsep ego yang dikemukakan Freud. Freud menganggap ego sebagai agen yang relatif lemah, pasif, dan berfungsi untuk menegosiasikan antara batasan sosial diinternalisasi (superego) dan kebutuhan untuk mengurangi ketegangan dibangun dari dorongan id yang tidak dilepas. Dengan kata lain, ego yang didefinisikan oleh Freud berbeda dengan karakteristik sentral dari self, yakni kecenderungan positif untuk bertumbuh. The Self Versus the Self-Concept Pemahaman seseorang mengenai siapa dan apa sebenarnya mereka disebut sebagai self-concept. Perbedaan yang mendasar antara self dan self concept berasal dari posisi pencetus bahwa manusi bertindak dan merespon atas dasar pemahaman mereka akan bagaimana sesuatu itu, bukan bagimana yang sebenarnya. Rogers berkata bahwa seseorang tidak bereaksi terhadap suatu realitas mutlak, tetapi lebih pada persepsinya terhadap realita, sehingga persepsi ini menjadi sebuah realita baginya (Rogers, 1951). Self Actualization Menurut penemu teori ini, yang menjadi tujuan utama seseorang hidup adalah untuk memenuhi semua aspek atau potensi diri yang memang sudah melekat pada diri manusia sejak dulu. Hal ini dilakukan untuk memaksa dirinya tumbuh menjadi lebih baik dengan kemampuannya tersebut guna memenuhi jati dirinya sebagai manusia. Salah satu aksesnya adalah ketika hal tersebut muncul dlam konsep diri yang nyata atau sadar. Ketika hal itu terjadi, seseorang akan mampu membuat keputusan-keputusan yang menggambarkan tentang nilai dari dirinya dan akan mempunyai kemampuan dalam menyusun berbagai kemungkinan-kemungkinan didalam hidupnya. Konsep ini sudah cukup menggambarkan bagaimana kompleksnya wujud aktualisasi manusia sebagai makhluk hidup. Konsep aktualisasi diri ini menunjukan bagaimana seseoang berkembang mengarah menuju harapan dan cita-cita hidupnya. 

Tantangan Baru untuk Memahami “Self”  Psikologi kognitif menghindari ide-ide tentang diri, meskipun itu berkaitan dengan konsep diri. Filsafat postmodern menolak gagasan tentang diri, meskipun ia memiliki banyak pertanyaan tentang apa yang salah dengan ide. Namun, jika psikologi humanistik terlahir untuk meluncurkan renaisans (Taylor, 1999), maka akan membutuhkan pandangan tentang psikologi dan filsafat yang ada saat ini. Para pendiri telah mengubah ide-ide penulis eksistensial dan fenomenologis sebagai bentuk perhatian mereka atas bertolak belakangnya gagasan tersebut dengan behaviorisme dan psikoanalisis, karena itu ada ide dari teori masa kini yang dapat menawarkan dukungan untuk gagasan psikologi humanistik tentang diri. Empat dari gagasan-gagasan ini bersumber dari Neisser tentang pengetahuannya mengenai diri. Tidak adanya “Self” di Filsafat Postmodernisme Sebelum postmodernisme, self memiliki tempat sentral dalam pandangan teologis dan filosofis dari barat. Penulis postmodernis telah menyerang gagasan tentang diri dan menyatakan bahwa gagasan eksistensi diri adalah kesalahan filosofis dimana kita keliru mengartikan arti dari konsep diri. Pandangan postmodernis mengatakan bahwa meskipun seseorang memiliki konsep diri, tidak ada konsep yang mengacu pada diri mereka, dengan kata lain, konsep tersebut merupakan konsep kosong. Tema utama pada pemikiran postmodern adalah pikiran merupakan refleksi dari bahasa seseorang, bukan merupakan objek dari dunia. Jadi, meskipun ada kata self, tidak berarti bahwa di dunia ini ada yang disebut dengan self. Postmodern menganggap bahwa self merupakan ciptaan fiksi dari grammar Western dan skema kognitif. Pandangan humanistik mengenai actual self dianggap tidak ada karena di dunia ini memang tidak ada actual self. 

Hasil gambar untuk selfPandangan Kontemporer Humanistik tentang Self Self-Knowledge Neisser Teori Neisser (Neisser, 1988, 1993a; Neisser & Fivush, 1994; Neisser & Jopling, 1997) setuju dengan posmodernisme yang menolak ide tentang “an inner self of some kind, a "real me" who is (or should be) ultimately responsible for behavior” (Neisser, 1993b, p.3). Neisser lebih setuju dengan filosofi kontemporer mengenai neuroscience yang menyatakan bahwa “the brain is not organized by any Cartesian flow toward and from some inmost center” (p.4). Bagaimanapun juga, posisi ini tidak membuat Neisser menolak ide tentang self. Menurunya, self adalah keseluruhan dari manusia dilihat dari sudut pandang tertentu. Self dapat mempengaruhi keseluruhan fungsi manusia itu sendiri. Teori Maslow tentang pencapaian needs menunjukkan bahwa self sangat berpengaruh pada perkembangan berbagai aspek dalam manusia. Neisser menjelaskan pola self sebagai berbagai aspek dalam kepribadian manusia yang digunakan sebagai identitas oleh individu tersebut. Neisser fokus pada perbedaan bentuk informasi yang dialami oleh self. Neisser mengidentifikasi lima aspek, yaitu the ecological self, the interpersonal self, the extended self, the private self, dan the conceptual self. The ecological self adalah pengertian self yang berkaitan dengan lingkungan fisik dan efek yang dihasilkan pada lingkungan itu sendiri. “Saya adalah seseorang di tempat ini, sedang melakukan aktivitas tertentu” (Neisser, 1998, p. 36). Pengetahuan dari interpersonal self diinformasikan secara langsung melalui pengalaman emosional dan komunikasi langsung yang diperoleh dari interaksi dengan orang lain. Pengalaman ekologis dan interpersonal yang dialami individu akan terus berlangsung selama hidup individu tersebut. Tiga tipe informasi lainnya diperoleh dari pemikiran reflektif manusia tersebut. The extended self didasarkan oleh ingatan personal dan impian masa depan. The private self merupakan kesimpulan dari pengalaman unik yang dirasakan individu, yang tidak dirasakan oleh orang lain. The conceptual self adalah apa yang dipercaya oleh individu mengenai dirinya sendiri. Lakoff and Johnson's Philosophy of the Flesh Lakoff dan Johnson (Lakoff, 1987; Lakoff & Johnson 1980, 1981, 1999) membedakan dua generasi dalam pengembangan pengetahuan ilmiah kognitif. Generasi pertama yang dikembangkan sekitar tahun 1950 dan 1960 sama seperti psikologi humanistik, sebagai pergerakan untuk memperbaiki ketergantungan psikologi terhadap pemahaman behavioris tentang manusia. Bagaimanapun juga, hal tersebut mengubah arah pandang ketika pendekatannya membahas komputer terbaru sebagai model dari fungsi mental (Gardner, 1985). Generasi kedua dari pengetahuan ilmiah kognitif yang muncul sekitar tahun 1970 diragukan oleh gagasan bahwa pikiran tidak terpengaruh oleh tubuh dan tidak diperintahkan menurut pola-pola logika formal. Pandangan generasi kedua ini berasal dari penemuan penelitian yang menunjukkan (a) terdapat ketergantungan konsep yang kuat dan pemikiran terhadap tubuh, (b) "proses imajinasi khususnya metafora, perumpamaan, prototip, frame, mental spaces, dan kategori radikal" (Lakoff & Johnson, 1999, p.77 dalam Schneider, et.al, 2001) adalah pusat untuk konseptualisasi dan pemikiran. 

Lakoff dan Johnson (dalam Schneider, et.al, 2001) mengungkapkan bahwa pikiran berhubungan dengan tubuh dan gagasan kebanyakan terjadi secara tidak sadar. mereka menyatakan bahwa gagasan tidak berhubungan dengan alam pemikiran, sebaliknya itu adalah sebuah aktivitas dari tubuh itu sendiri. pandangan Lakoff dan Johnson bahwa sebagian besar pikiran terjadi di luar kesadaran juga disetujui oleh pandangan Rogers yaitu proses kecenderungan untuk pertumbuhan adalah tidak di dalam kontrol kesadaran. Gendlin's Intricacy and Self Gendlin (1962, 1997; see also Levin, 1997 dalam Schneider, et.al, 2001) adalah seorang psikoterapis dan filsuf. Teori yang dikemukakan memiliki hubungan dengan psikologi humanistik. Gendlin berfokus pada hubungan antara pengalaman dan konsep yang digunakan untuk menyusun pengalaman. Pendapat yang dikemukakan oleh Gendlin bertentangan dengan postmodern. Dia menyatakan bahwa pengalaman bukan merupakan struktur yang dikenakan secara budaya, sebaliknya pengalaman  adalah hasil dari interaksi yang lebih mendasar antara orang dan dunia. Proses mengalami adalah interaksi kita terhadap situasi dalam kehidupan dan pemaknaan secara jasmani bahwa situasi tersebut ada untuk kita. Proses mengalami memiliki susunan yang lebih kompleks daripada yang dilakukan oleh bahasa. Perkataan menjadi lebih bermakna ketika itu digunakan untuk berkomunikasi dan terefleksi pada pengalaman yang dirassakan oleh seseorang. 
Hasil gambar untuk gendlin 
Gendlin membuka ruangan dimana pengalaman diri seseorang dapat terjadi. Pengetahuan terjadap diri adalah pengetahuan yang dirasakan oleh tubuh, bukan susunan konseptual. Self atau diri adalah hubungan yang secara kompleks terjalin dalam pengalaman interaksi seseorang yang ada antara orang tersebut dengan dunianya. Usaha Gendlin mengarahkan psikologi humanistik kepada pemahaman bahwa self  ada di luar bayangan yang dibayangkan yang dibentuk oleh kategori secara budaya.


Sumber:
Tugas Kuliah Ria, Dkk Psikologi Humanistik Unair 2013
Schneider, K. J., Burgental, J. F. T. & Pierson, J. F. (2001). The Handbook of Humanistic Psychology. California: Sage Publication, inc.


No comments:

Post a Comment