Perspektif Transpersonal dan Eksistensialis Pendekatan eksistensial dan transpersonal memiliki kesamaan fokus dan saling menawarkan satu sama lain. Keduanya menekankan fokus pada hal-hal mengenai kehidupan terdalam, terutama mengenai penyebab dan bantuan dari pengalaman penderitaan dan apa arti hidup sepenuhnya. Dengan demikian, mereka memberikan perhatian khusus pada sifat dasar dari kondisi manusia, cara-cara dimana kita gagal dalam mengambil kesempatan, masalah dalam penderitaan, dan bagaimana kita dapat secara penuh dalam memberikan respon mendasar pada masalah ini. Pada bab ini, kita akan menjelaskan mengenai empat topik, yaitu:
1. Gagasan bahwa biasanya manusia memiliki kondisi yang kurang sempurna, mengalami kekurangan, dan menjiwai penderitaan.
2. Godaan konvensionalitas (seperti kumpulan atau trans konsensus).
3. Tuntutan bahwa jalan biasa yang digunakan untuk hidup adalah tidak otentik atau somnambulistic.
4. Strategi dan respon untuk menjadi otentik atau menjadi sadar akan diri. The unsatisfactoriness of our usual human condition.
Kebingungan ambiguitas dan ketidakpuasaan adalah dua hal yang sering kita alami dalam kehidupan sehari-hari. Untuk Heidegger, kita “melemparkannya” pada situasi ambiguitas dan keterasingan, yang dianggap Jaspers sebagai “kapal karam” dari kondisi manusia yaitu mengalami kesendirian dalam dunia alien. Disana, kita menghadapi “batas situasi” dari kesendirian, kesiasiaan, tanggung jawab, dan kematian (Yalom, 1981). Konsekuensinya, eksistensialis menyatakan bahwa nada perasaan yang dalam adalah salah satu kecemasan dan seperti yang Nietzsche (1968) katakan, “sedalam manusia melihat kedalam hidup, dia juga melihat kedalam penderitaan”. Perspektif transpersonal banyak mengakui teori-teori eksistensial, termasuk dalam hal mengakui kegunaan dari ambiguitas dan kecemasan, dan hal itu menunjukkan bahwa eksistensial telah membuat diagnosis yang mendalam dan akurat mengenai nada perasaan yang dalam dari keberadaan kecemasan. Pada inti gerakan transpersonal, orang menemukan pernyataan yang konsisten bahwa kita mengalami kesalahan identitas. Kita melihat diri kita sebagai “skin-encapsulated egos”. Ego atau self-sense ini, sama seperti pendapat yang dimiliki eksistenstialis, bukan diberikan atau tidak tetapi lebih sebagai dipilih dan dibangun. Dengan demikian, eksistensialis dan transpersonalis menyutujui bahwa pandangan yang biasa mengenai diri adalah suatu hal yang salah dan fenomenologi sistematis atau kontemplasi mengungkapkan kesalahan ini.
Eksistensialis dan transpersonalis memiliki pandangan yang berbeda dalam memahami sifat dan kebutuhan dari self-sense dan mengenai sifat yang lebih dalam dari identitas. Eksistensialis cenderung mengasumsikan bahwa setiap pengalaman “dimiliki” dalam hal ini dapat dan harus dikaitkan dengan sebuah „I‟. Pada terminologi Kant, setiap pengalaman disertai oleh „pikiran saya‟ (Cooper, 1990, pp. 97-98). Transpersonalis memegang pandangan yang berbeda yang didasarkan pada pengalaman kontemplatif. Mereka menghargai pendapat yang mengatakan bahwa “setiap pengalaman adalah dimiliki” sebagai contoh seperti apa yang orang Budha katakan “pandangan yang salah”. Ini adalah proses yang biasa dalam bagian kesadaran dimana kesadaran gagal untuk mengenali proses ego konstruktif dan mengalami kekeliruan dalam menganggap bahwa terdapat beberapa diri dimana pengalaman terjadi (Engler, 1993; Epstein, 1995). Dengan pelatihan meditasi, kesadaran dapat menjadi lebih tepat dan sensitif, dan proses konstruktif ego dapat mulai diakui dan didekonstruksi (Goldstein, 1983). Sebuah perubahan yang cepat dari gambaran, pikiran, dan perasaan dipandang untuk mendasari asumsi ego yang berkelanjutan. Pengakuan ini dibuat oleh David Hume, yang ketika mencari identitas dirinya, ia tidak menemukan apa-apa kecuali sekumpulan persepsi yang berbeda. Semakin dalam self-senses yang ditemukan selama pelatihan meditasi dan pematangan maka akan meningkatkan transpersonal, yang berarti, memperluas diri melewati individu atau pribadi untuk mencakup aspek yang lebih luas dari manusia, jiwa, dan kosmos. Identitas akhirnya menjelaskan berbagai diri, pikiran, semangat, Geist, Atman, Tao, kesadaran alami, satchit-ananda, sifat dasar Budha, dan sifat dasar yang sebenarnya. Identitas ini dikatakan terjadi bersamaan atau coessential dengan dasar eksistensi. Pernyataan ini berasal dari realisasi identitas transpersonal yang bersatu dengan “semua” pusat dari filsafat abadi, yang merupakan pusat umum kebijaksanaan pada agama-agama besar (Huxley, 1994). Mereka mengatakan bahwa manusia harus mengalami pengalaman langsung yang dapat diuji melalui proses meditasi, bukan ajaran agama atau “metafisik belaka”.
Gerakan transpersonal merupakan campuran dari filsafat abadi dan pengetahuan kontemporer, dan transpersonal sangat berkomitmen pada pengujian dan pernyataan lain yang diperoleh melalui pendekatan fenomenologis, kontemplatif, intelektual, dan cara ilmiah yang tepat. Ide-ide tentang egoic self-sense dan hal-hal yang mendasari identitas transpersonal, yaitu filsafat abadi dan transpersonalis kontemporer menyarankan bahwa salah satu kondisi yang kita alami adalah keterasingan diri (Wilber, 1995). Teori transpersonal menyarankan keterasingan diri sebagai pusat dari pemahaman mengenai kondisi dan penderitaan, dan menumbuhkan kesadaran untuk mengetahui bahwa identitas yang lebih dalam dapat membebaskan kita dari banyak kecemasan, keterasingan, dan atman project. The Atman Project Setiap manusia selalui mencari jati dirinya. Jati diri manusia tidak begitu saja di dapatkan dengan mudah, pencarian jati diri pada manusia selalu melalui beberapa kejadian dan rangkaian proses yang panjang. Manusia menjadi lebih baik dari pada sebelumnya juga dapat dikarenakan manusia tersebut telah melalui begitu banyak pengalaman yang mana bermanfaat dalam kelangsungan hidupnya. Penghayatan manusia pada diri manusia tersebut dan lingkungan yang berada di sekitarnya merupakan salah satu hal yang ingin dicapai oleh setiap manusia, yang mana hal ini biasa disebut sebagai self-transcendence.
The atman project merupakan suatu pembahasan akan pencapaian hidup yang selalu dicari oleh manusia. Namun ketika manusia tidak menyadari dan tidak mencari tau akan pemahaman puncak dalam kehidupan ini maka yang ada pencarian orang tersebut akan makna hidup akan menjadi siasia. The atman project merupakan pembahasan yang membahas akan ke tidak puasan kita akan sesuatu yang tidak kita inginkan. The Limitations and Seduction of Conventionality and Conventional Slumber Kondisi dimana mimpi merupakan suatu hal yang dapat mengembangkan suatu hal kepercayaan dalam manusia, sekarang ini sudah mulai banyak dipertimbangkan oleh manusia. Pola berfikir mereka yang mengenggap sesuatu secara dangkal dan defensif, yang mana menghasilkan suatu pemikiran keseharian. Sehingga hal yang tadinya konvensional bisa dianggap tidak konvensional akibat perubahan penerimaan pada masyarakat. The Seduction of Conventionality Baik transpersonal dan eksistensialis percaya bahwa kekuatan konfesional (mimpi) membawa suatu kepercayaan, perilaku, dan suatu keinginan terhadap sesuatu. Dan bagi beberapa orang yang percaya dengan berlebih akan kekuatan ini tekadang dapat membahayakan orang tesebut. Beberapa keinginan tersembunyi bagi beberapa orang dalam mempercayai suatu hal seperti ini salah satunya adalah akibat adanya sesuatu pada beberapa hal, misalnya untuk pengakuan sosial terhadap lingkungan sekitar.
Dalam transpersonal sendiri membahas akan tiga macam tahapan yang di lalui oleh manusia, yaitu pre-personal, personal dan transpersonal. Pada setiap tahapannya akan dilalui manusia dengan cara yang berbeda-beda dan selalu melalui suatu permasalahan. Baik transpersonal dan eksistensialis sama-sama membahas akan sesuatu yang melebihi batas dan nalar kita. Startegies and Responses Bagaimanapun juga Transpersonalists cenderung melihat etika sebagai salah satu komponen dari multiple disiplin yang dirancang untuk mendorong pengembangan tahap transpersonal/ transconventional sesuai keadaan kesadaran. Bahasa mereka cenderung meliputi tidak hanya metafora heroik, tetapi juga metafora pembukaan (opening), berlangsung (unfolding), kebangkitan (awakening), pembebasan (liberation), dan pencerahan (enlightenment) (Mitzner, 1998; Walsh, 1999). Hal ini juga cenderung mengakui pentingnya kedua komunal dan pengembangan individu (Vaughan, 1995b; Wilber, 1995, 1996). Pengembangan teori yang unggul pada transpersonal lapangan telah dilakukan oleh Wilber (1980, 1995, 1996). Dia menggandeng pengembangan strukturalisme untuk membandingkan contemplative lintas abad dan budaya dan telah mengidentifikasi enam tahapan perkembangan luar yang konvensional. Secara khusus, Wilber mengidentifikasi tahap kedua dari tahap transkonvensional dengan perspektif eksistensial dan pandangan dunia, dan dia menyarankan bahwa psikolog eksistensial memiliki pertimbangan aspek dari kondisi manusia lebih dalam hampir seluruh sekolah di Western. Dia telah mendeskripsikan empat tahap lebih lanjut dan menyesuasikan perspektif luar dari eksistensial. Tidak mengejutkan, bahwa ini memperluas kesulitan untuk mencapainya dan jarang bisa nyata tanpa bantuan dari beberapa tipe dari intensive contemplative discipline. Pemeriksaan lintas budaya dari authentic spiritual discipline menunjukkan bahwa meskipun mereka mungkin mengandung sejumlah besar budaya yang aneh, mereka juga mungkin mengandung proses dan praktek efektif. Hingga saat ini, tujuh elemen umum telah disarankan, seperti: perilaku etis, stabilitas perhatian (attentional), transformasi emosi, perbaikan persepsi, pengalihan motivasi, pembudidayaan kebijaksanaan, dan layanan (Walsh, 1999). Authentic discipline (misalnya kemampuan disiplin mempengaruhi pengembangan transpersonal) termasuk kontemplatif atau pelatihan meditasi. Ini mungkin tampak bertentangan dengan peringatan Heidegger (1982) terhadap sifat melawan/boros dalam jiwa seseorang, tetapi introspeksi dapat melibatkan baik perenungan obsesif atau disiplin dari pengembangan mental.
Klaim untuk tahap transpersonal dan potensi luar konvensional jelas adalah makna yang besar. Tapi pertanyaan jelas: apakah mereka benar? Apakah transpersonal dialami, bertahap, dan kapasitasnya valid dan berpotensi berharga didalam diri kita? Atau sebagai kritik (meliputi beberapa eksistensialists) telah disarankan, apakah mereka hanya sekedar produk dari patologi, regressed (kemunduran) atau (deluded mind) penipuan pikiran untuk melawan hal yang menyedihkan. Pertimbangan dari teori dan penelitian sekarang mendukung beberapa klaim uuntuk nilai dan validitas dari pengalaman dan potensi transpersonal (Laughlin. McManus & d‟Aquili, 1992; Shapiro & Walsh, 1984, Walsh, 1993; Walss& Vaughan, 1993; Wilber, 1980, 1995, 1996). Di arena ini bagaimanapun telah ditemukan penemuan penting dan teori yang terperinci yaitu pengalaman langsung. Untuk seribu tahun, tradisi kebijaksanaan telah diargumenkan bahwa jalan terbaik untuk menaksir beberapa klaim adalah mengetes mereka, dirinya sendiri, melalui penjelajahan dan pengembangan pikiran sendiri. Disini, eksistensialists dan transpersonalists setuju jawaban yang paling mendalam dan penting dapat ditemukan dari kehidupan diri sendiri dan pengalaman.
Sumber:
Tugas kuliah Humanistik Psikologi Unair 2013
Tugas kuliah Humanistik Psikologi Unair 2013
Schneider, K. J., Burgental, J. F. T. & Pierson, J. F. (2001). The Handbook of Humanistic Psychology. California: Sage Publication, inc.
No comments:
Post a Comment