Anak tunadaksa dapat kita definisikan sebagai penyandang bentuk kelainan atau kecacatan pada sistem otot, tulang dan persendian yang dapat mengakibatkan gangguan koordinasi, komunikasi, adaptasi, mobilisasi, dan gangguan perkembangan keutuhan pribadi. Salah satu definisi mengenai anak tunadaksa menyatakan bahwa anak tunadaksa adalah anak penyandang cacat jasmani yang terlihat pada kelainan bentuk tulang, otot, sendi maupun saraf-sarafnya. Istilah tunadaksa memiliki arti yang sama dengan istilah yang berkembang, seperti cacat tubuh, tuna tubuh, tuna raga, cacat anggota badan, cacat orthopedic, crippled, dan orthopedically handicapped (Depdikbud, 1986:6).
Anak tunadaksa dilihat dari sistem kelainannya dapat diklasifikasikan kedalam dua bagian, yaitu kelainan pada sistem cerebral (cerebral system) dan kelainan pada sistem otot dan rangka (musculus skeletal system).
Penyandang kelainan pada sistem cerebral memiliki kelainan yang terletak pada sistem saraf pusat, seperti cerebral palsy atau kelumpuhan otak. Menurut derajat kecacatannya, cerebral palsy diklasifikasikan menjadi:
1. ringan, dengan ciri-ciri, yaitu dapat berjalan tanpa alat bantu, bicara jelas, dan dapat menolong diri sendiri.
2. sedang, dengan ciri-ciri: membutuhkan bantuan untuk latihan berbicara, berjalan, mengurus diri, dan alat-alat khusus, seperti brace.
3. berat, dengan ciri-ciri, yaitu membutuhkan perawatan tetap dalam ambulasi, bicara, dan menolong diri.
Menurut letak kelainan di otak dan fungsi geraknya cerebral palsy dibedakan menjadi:
1. spastik, dengan ciri seperti terdapat kekakuan pada sebagian atau seluruh ototnya.
2. dyskenisia, yang meliputi athetosis (penderita memperlihatkan gerak yang tidak terkontrol), rigid (kekakuan pada seluruh tubuh sehingga sulit dibengkokkan); tremor (getaran kecil yang terus menerus pada mata, tangan atau pada kepala)
3. Ataxia (adanya gangguan keseimbangan, jalannya gontai, koordinasi mata dan tangan tidak berfungsi.
Sedangkan penyandang kelainan pada sistem otot dan rangka memiliki kelainan yang terletak pada otot dan rangkanya. Pada golongan penyandang cacat ini kebanyakan dapat bersekolah pada sekolah-sekolah umum. Penyandang kelainan sistem otot dan rangka ini dapat digolongkan menjadi:
1. Poliomyelitis,
merupakan suatu infeksi pada sumsum tulang belakang yang disebabkan oleh virus polio yang mengakibatkan kelumpuhan dan sifatnya menetap. Dilihat dari sel-sel motorik yang rusak, kelumpuhan anak polio dapat dibedakan menjadi:
a) tipe spinal, yaitu kelumpuhan atau kelumpuhan pada otot-otot leher, sekat dada, tangan dan kaki,
b) tipe bulbair, yaitu kelumpuhan fungsi motorik pada satu atau lebih saraf tepi dengan ditandai adanya gangguan pernapasan,
c) tipe bulbispinalis, yaitu gabungan antara tipe spinal dam bulbair,
d) encephalitis yang biasanya disertai dengan demam, kesadaran menurun, tremor, dan kadang-kadang kejang.
Kelumpuhan pada polio sifatnya layu dan biasanya tidak menyebabkan gangguan kecerdasan atau alat-alat indra. Akibat penyakit poliomyelitis adalah otot menjadi kecil (atropi) karena kerusakan sel saraf, adanya kekakuan sendi (kontraktur), pemendekan anggota gerak, tulang belakang melengkung ke salah satu sisi, seperti huruf S (Scoliosis), kelainan telapak kaki yang membengkok ke luar atau ke dalam, dislokasi (sendi yang ke luar dari dudukannya), lutut melenting ke belakang (genu recorvatum).
2. Muscle Dystrophy,
merupakan jenis penyakit yang mengakibatkan otot tidak berkembang karena mengalami kelumpuhan yang sifatnya progresif dan simetris. Penyakit ini ada hubungannya dengan keturunan.
3. Spina bifida,
merupakan jenis kelainan pada tulang belakang yang ditandai dengan terbukanya satu atau 3 ruas tulang belakang dan tidak tertutupnya kembali selama proses perkembangan. Akibatnya, fungsi jaringan saraf terganggu dan dapat mengakibatkan kelumpuhan, hydrocephalus, yaitu pembesaran pada kepala karena produksi cairan yang berlebihan. Biasanya kasus ini disertai dengan ketunagrahitaan (Black, 1975).
Di Indonesia tujuan pendidikan anak tunadaksa mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1991 agar peserta didik mampu mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya, dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan.
Fasilitasi untuk anak penyandang cacat tidak terlepas dari tujuan-tujuan pendidikan yang telah dikemukakan oleh Connor (1975) yang meliputi tujuh aspek yaitu:
1. Pengembangan intelektual dan akademik,
2. Membantu perkembangan fisik,
3. Membantu mengembangkan emosi dan penerimaan diri anak,
4. Mematangkan aspek sosial,
5. Mematangkan moral dan spiritual,
6. Meningkatkan ekspresi diri,
7. Serta mempersiapkan masa depan anak.
Tujuan- tujuan tersebut sebenarnya memiliki dua capaian yang diinginkan yaitu pengembangan fungsi fisik dan pengembangan dalam pendidikan. Oleh sebab itu fasilitasi pendidikan untuk anak tunadaksa harus dapat melingkupi dan memenuhi ketujuh aspek tersebut supaya anak tunadaksa tersebut dapat berkembang dengan optimal selayakna anak pada umumnya serta dapat hidup dengan mandiri dan mampu membangun pribadi yang seutuhnya.
Dari sumber yang kami peroleh, fasilitasi pendidikan untuk anak tunadaksa melingkupi tempat belajar, sistem belajar, serta pengajar yang mampu mengembangkan para tunadaksa secara optimal. Dari segi tempat belajar, model layanan pendidikan yang sesuai dengan jenis dan derajat kelainan, serta jumlah siswa didik untuk anak tunadaksa dapat ditempatkan pada sekolah-sekolah sebagai berikut:
1. Sekolah Khusus Berasrama (Full-Time Residential School)
Model ini diperuntukkan bagi anak tunadaksa yang derajat kelainannya berat dan sangat berat. Hal ini dikarenakan peserta didik perlu adanya penanganan secara intensif dari pihak yang berkompeten serta keterbatasan kemampuan orang tua unuk mendidik si anak tersebut.
2. Sekolah Khusus tanpa Asrama (Special Day School)
Model ini dapat diperuntukkan bagi anak tunadaksa yang mampu pulang pergi ke sekolah atau tempat tinggal mereka yang tidak jauh dari sekolah.
3. Kelas Khusus Penuh (Full-Time Special Class)
Anak tunadaksa yang memiliki tingkat kecacatan ringan dan kecerdasan homogen dilayani dalam kelas khusus secara penuh.
4. Kelas Reguler dan Khusus (Part-Time Reguler Class and Part-Time Special Class)
Model ini digunakan apabila para orang tua ingin menyatukan anak tunadaksa dengan anak normal, namun pada mata pelajaran tertentu. Mereka belajar dengan anak normal dan apabila anak tunadaksa mengalami kesulitan mereka belajar di kelas khusus.
5. Kelas reguler Dibantu oleh Guru Khusus (Reguler Class with Supportive Instructional Service)
Anak tunadaksa bersekolah bersama-sama dengan anak normal di sekolah umum dengan bantuan guru khusus apabila anak mengalami kesulitan. Dalam kelas ini sisiwa yang berkebutuhan khusus dapat mendapat bantuan guru khusus selama proses pembelajaran.selain itu guru khusus melakukan beberapa evaluasi guna menilai apa saja yang dibutuhkan para siswa tunadaksa.
6. Kelas Biasa dengan Layanan Konsultasi untuk Guru Umum (Reguler Class Placement with Consulting Service for Reguler Teachers)
Tanggung jawab pembelajaran model ini sepenuhnya dipegang oleh guru umum. Anak tunadaksa belajar bersama dengan anak normal di sekolah umum, dan untuk membantu kelancaran pembelajaran ada guru kunjung yang berfungsi sebagai konsultan guru reguler.
7. Kelas Biasa (Reguler Class)
Model ini diperuntukkan bagi anak tunadaksa yang memiliki kecerdasan normal, memiliki potensi dan kemampuan yang dapat belajar bersama-sama dengan anak normal. Dalam hal ini anak tunadaksa tersebut dinilai mampu berakifitas seperti murid pada umumnya walau dalam keterbatasan-keterbatasan yang dimilikinya.
Untuk sistem belajar anak tunadaksa dapat dibedakan menjadi:
1. Pendidikan integrasi (terpadu)
Meskipun kita tahu bahwa pendidikan anak tunadaksa di Indonesia mayoritas dilakukan di sekolah khusus, yaitu anak tunadaksa ditempatkan secara khusus di SLB-D (Sekolah Luar Biasa bagian D), namun untuk anak tunadaksa ringan (jenis poliomyelitis) ada yang telah mengikuti pendidikan di sekolah umum. Dari fakta itu maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pendidikan yang terpadu adalah:
a. Menyiapkan lingkungan belajar tambahan sehingga memungkinkan anak tunadaksa untuk bergerak sesuai dengan kebutuhannya, misalnya membangun trotoar, pintu agak besar sehingga anak dapat menggunakan kursi roda,
b. Menyiapkan program khusus untuk mengejar ketinggalan anak tunadaksa karena anak sering tidak masuk sekolah,
c. Guru harus mengadakan kontak secara intensif dengan siswanya untuk melihat masalah fisiknya secara langsung,
d. Perlu mengadakan rujukan ke ahli terkait apabila timbul masalah fisik dan kesehatan yang lebih parah,
2. Pendidikan segregasi (terpisah)
Penyelenggaraan pendidikan bagi anak tunadaksa yang ditempatkan di tempat khusus, seperti sekolah khusus adalah menggunakan kurikulum Pendidikan Luar Biasa Anak Tunadaksa 1994 (SK Mendikbud, 1994). Perangkat Kurikulum Pendidikan Luar Biasa 1994 terdiri atas komponen berikut.
a. Landasan, Program dan Pengembangan Kurikulum, memuat hal-hal, yaitu landasan yang dijadikan acuan dan pedoman dalam pengembangan kurikulum, tujuan, jenjang dan satuan pelajaran, program pengajaran yang mencakup isi program, pengajaran, lama pendidikan dan susunan program pengajaran, pelaksanaan pengajaran dan penilaian, serta pengembangan kurikulum sebagai suatu proses berkelanjutan di tingkat nasional dan daerah.
b. Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP) memuat: pengertian dan fungsi mata pelajaran, tujuan, ruang lingkup bahan pelajaran, pokok bahasan, tema dan uraian tentang kedalaman dan keluasan, alokasi waktu, rambu-rambu pelaksanaannya, dan uraian/cara pembelajaran yang disarankan.
c. Pedoman pelaksanaan kurikulum memuat: pedoman pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar, rehabilitasi, pelaksanaan bimbingan, administrasi sekolah, dan pedoman penilaian kegiatan serta hasil belajar.
Lama pendidikan dan penjenjangan serta isi kurikulum tiap jenjang adalah sebagai berikut.
a. TKLB (Taman Kanak-kanak Luar Biasa) berlangsung satu sampai tiga tahun dan isi kurikulumnya, meliputi pengembangan Kemampuan Dasar (Moral Pancasila, Agama, Disiplin, Perasaan, Emosi, dan Kemampuan Bermasyarakat), Pengembangan Bahasa, Daya Pikir, Daya Cipta, Keterampilan dan Pendidikan Jasmani. Usia anak yang diterima sekurang-kurangnya 3 tahun.
b. SDLB (Sekolah Dasar Luar Biasa) berlangsung sekurang-kurangnya enam tahun dan usia anak yang diterima sekurang-kurangnya enam tahun. Isi kurikulumnya terdiri atas: Program Umum meliputi mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Pendidikan Agama, Bahasa Indonesia, Matematika, IPS, IPA, Kerajinan Tangan dan Kesenian, serta Pendidikan Jasmani dan Kesehatan; program khusus (Bina Diri dan Bina Gerak), dan Muatan Lokal (Bahasa Daerah, Kesenian, dan Bahasa Inggris).
c. SLTPLB (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa) berlangsung sekurang-kurangnya 3 tahun, dan siswa yang diterima harus tamatan SDLB. Isi kurikulumnya terdiri atas program umum (Pendidikan Pancasila, Kewarganegaraan, Pendidikan Agama, Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, Bahasa Inggris), program khusus (Bina Diri dan Bina Gerak), program muatan lokal (Bahasa Daerah, Kesenian Daerah).
d. SMLB (Sekolah Menengah Luar Biasa) berlangsung sekurang-kurangnya tiga tahun, dan siswa yang diterima harus tamatan SLTPLB. Isi kurikulumnya meliputi program umum sama dengan tingkat SLTPLB, program pilihan terdiri atas paket Keterampilan Rekayasa, Pertanian, Usaha dan Perkantoran, Kerumahtanggaan, dan Kesenian. Di jenjang ini, anak tunadaksa diarahkan pada penguasaan salah satu jenis keterampilan sebagai bekal hidupnya.
Lama belajar dan perimbangan bobot mata pelajaran untuk tiap jenjang adalah TKLB lama belajar satu jam pelajaran 30 menit, SDLB lama belajar satu jam pelajaran 30 dan 40 menit. Bobot mata pelajaran di SDLB yang tergolong akademik lebih banyak dari mata pelajaran yang lainnya, SLTPLB lama belajar satu jam pelajaran 45 menit dan bobot mata pelajaran keterampilan dan praktik lebih banyak daripada mata pelajaran lainnya; dan SMLB lama belajar sama dengan SLTPLB dan bobot mata pelajaran keterampilan lebih banyak dan mata pelajaran lainnya lebih diarahkan pada aplikasi dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam pelaksanaan pembelajaran, maka ada beberapa poin yang perlu diperhatikan seperti penataan lingkungan belajar, prinsip pembelajaran, serta perencaanaan kegiatan pembelajaran. Penataan lingkungan belajar yang sedemikian rupa dapat memberikan kenyamanan untuk anak tunadaksa seperti infrastruktur gedung yang menunjang seperti ruang poliklinik/UKS untuk pemeriksaan dan perawatan kesehatan anak, ruang untuk latihan bina gerak (physiotherapy), ruang untuk bina bicara (speech therapy), ruang untuk bina diri, terapi okupasi, dan ruang bermain, serta lapangan.
Akses dalam gedung yang baik seperti jalan masuk menuju sekolah sebaiknya dibuat keras dan rata yang memungkinkan anak tunadaksa yang memakai alat bantu ambulasi, seperti kursi roda, tripor, brace, kruk, dan lain-lain, dapat bergerak dengan aman, tangga sebaiknya disediakan jalur lantai yang dibuat miring dan landai, lantai bangunan baik di dalam dan di luar gedung sebaiknya dibuat dari bahan yang tidak licin.
Serta komponen komponen bangunan yang harus diperhatikan seperti pintu-pintu ruangan sebaiknya lebih lebar dari pintu biasa dan daun pintunya dibuat mengatup ke dalam, pada beberapa dinding lorong dapat dipasang cermin besar untuk digunakan anak mengoreksi sendiri sikap/posisi jalan yang salah. Kelas sebaiknya dilengkapi dengan meja dan kursi yang konstruksinya disesuaikan dengan kondisi kecacatan anak, misalnya tinggi meja kursi dapat disetel, tanganan, dan sandaran kursi dimodifikasi, dan dipasang belt (sabuk) agar aman. Kamar mandi/kecil sebaiknya dekat dengan kelas-kelas agar anak mudah dan segera dapat menjangkaunya. Dipasang WC duduk agar anak tidak perlu berjongkok pada waktu menggunakannya.
Pendidikan anak tunadaksa sedapat mungkin memanfaatkan dan mengembangkan indra-indra yang ada dalam diri anak karena banyak anak tunadaksa yang mengalami gangguan indra. Dengan pendekatan multisensori, kelemahan pada indra lain dapat difungsikan sehingga dapat membantu proses pemahaman.
Untuk memenuhi kebutuhan anak tunadaksa dalam belajar, maka tenaga kerja serta staf pengajar yang diperlukan dalam penyelenggaraan pendidikan anak tunadaksa adalah sebagai berikut:
1. Guru yang berlatar belakang pendidikan luar biasa, khususnya pendidikan anak tunadaksa,
2. Guru yang memiliki keahlian khusus, misalnya keterampilan dan kesenian,
3. Guru sekolah biasa,
4. Psikolog,
5. Dokter umum,
6. Dokter ahli ortopedi,
7. Neurolog,
8. Ahli terapi lainnya, seperti ahli terapi bicara, physiotherapist dan bimbingan konseling, serta orthotist prosthetist.
Profil sekolah yang memberikan contoh penerap fasilitasi tunadaksa adalah SLB Kartini Batam yang berlokasi di jalan Raja Ali Haji Kompleks Sumber Agung Sei Jodoh Batu Ampar Batam. Sekolah tersebut memiliki visi yaitu: Terwujudnya Pelayanan Pendidikan Optimal Untuk Mencapai Kemandirian Bagi Anak – Anak Berkebutuhan Khusus Serta Yang Mempunyai Potensi Kecerdasan dan Bakat Istimewa.
Dan misi dari sekolah ini adalah :
1. Memperluas Kesempatan dan pemerataan Pendidikan bagi anak-anak yang mempunyai kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran dan anak-anak yang mempunyai potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
2. Meningkatkan Mutu dan Relevansi Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus.
3. Meningkatakan kepedulian dan memperluas jejaring tentang Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus.
4. Mewujudkan Pendidikan Inklusif secara baik dan benar di Lingkungan sekolah biasa, maupun keluarga/masyarakat.
Dari visi misi yang tersebut di atas dapat kita lihat bahwa sekolah ini cukup dapat memberikan fasilitasi untuk para penyandang cacat yang seharusnya mendapatkan fasilitasi yang cukup layak untuk mereka. Selain itu sekolah ini memiliki tenaga kerja yang cukup kompeten seperti Speech Terapi, Pisio Terapi Okupasi Terapi, Psikolog, Dokter THT, dan tenaga ahli komputer. Serta fasilitas yang ditawarkan juga cukup menunjang siswa penyandang cacat untuk dapat mengoptimalkan perkembangannya seperti:
1. Ruang Belajar,
2. Perpustakaan,
3. Work Shop Keterampilan,
4. Ruang Klinis,
5. Ruang Bimbingan Penyuluhan,
6. Ruang UKS,
7. Ruang Therapy Untuk Tuna Rungu,
8. Ruang Therapy Untuk Tuna Grahita,
9. Ruang Therapy Untuk Tuna Daksa,
10. Lab. Tuna Netra,
11. Lab. Tuna Rungu,
12. Lab. Tuna Grahita,
13. Lab. Tuna Daksa,
14. Musholla.
SUMBER:
file.upi.edu
slbk-batam.org
No comments:
Post a Comment