Kecemasan (Anxiety) adalah keadaan suasana-perasaan yang ditandai oleh gejala-gejala jasmaniah seperti ketegangan fisik dan kekhawatiran tentang masa depan. (American Psychiatric Association, 1994: Barlow, 2002). Suatu kecemasan akan bermanfaat apabila hal tersebut mendorong kita untuk melakukan pemeriksaan medis secara reguler atau memotivasi kita untuk belajar menjelang ujian. Kecemasan merupakan respon yang tepat terhadap ancaman, tetapi kecemasan bisa menjadi abnormal bila tingkatannya tidak sesuai dengan proporsi ancaman. Dalam bentuknya yang ekstrem, kecemasan dapat mengganggu fungsi kita sehari-hari.
Etiologi kecemasan ada beberapa hal, antara lain :
Perspektif Psikoanalisa
Asal muasal atau penyebab gangguan kecemasan dapat dilihat dari berbagai macam sudut pandang psikologi salah satunya dari sudut pandang psikoanalisa. Dalam sudut pandang psikoanalisa, gangguan kecemasan merupakan konflik yang terjadi dalam id dan ego. Kecemasan yang timbul dianggap sebagai sinyal kepada ego bahwa terdapat impuls seksual atau agresif yang akan muncul ke kesadaran.
Impuls-impuls yang muncul yang harus direpresi dengan mekanisme pertahanan (defense mechanicsm). Kecemasan muncul dikarenakan defense mechaniscm tidak dapat secara sempurna menekan impuls-impuls untuk muncul ke permukaan. Maka ketika gagal, sehingga munculnya gangguan kecemasan.
Perspektif Belajar
Bila dilihat dari perspektif belajar maka akan masuk dalam classical conditioning dan operant conditioning. Gangguan kecemasan muncul dalam classical conditioning bila stimulus yang muncul secara tidak sadar menimbulkan kecemasan atau ketakutan. Untuk menanggulanginya, stimulus yang dapat menimbulkan kecemasan itu dihindari. Lalu dari halterjadi tersebut, maka muncul perilaku menghindari itu menjadi operant conditioning yang dianggap sebagai reinforcement dari rasa takutnya sendiri.
Sudut Pandang Kognitif
Sudut pandang ini lebih memfokuskan pada bagaimana proses berpikir seseorang dapat membuat orang tersebut memiliki kecemasan. Kecemasan dalam sudut pandang ini dapat dijelaskan karena adanya kecenderungan individu untuk memperhatikan stimulus yang negatif, menginterpretasikan informasi yang ambigu-ambigu sebagai ancaman, dan takut bahwa peristiwa-peristiwa yang tidak menyenangkan dapat terjadi lagi.
Sudut Pandang Biologis
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa individu yang memiliki keturunan gen yang memiliki gangguan kecemasan akan memiliki gangguan kecemasan pula. Hal ini menunjukkan bahwa gangguan kecemasan juga dapat diturunkan melalui gen dan darah. Pandangan biologis lainya tentang kecemasan berhubungan dengan adanya hambatan atau gangguan pada neurotransmitter yang bernama GABA sehinngga kecemasan tidak dapat dikontrol.
TIPE-TIPE GANGGUAN KECEMASAN
1. Agorafobia
adalah ketakutan atau penghindaran terhadap tempat atau situasi dimana akan sulit atau memalukan bila harus melarikan diri, atau dimana bantuan tidak mungkin ditemukan bila terjadi serangan panik atau simtom seperti panik.
Diagnosa :
Semua kriteria dibawah ini harus dipenuhi untuk diagnosis pasti :
a. Gejala psikologis, perilaku atau otonomik yang timbul harus merupakan manifestasi primer dari anxietasnya dan bukan sekunder dari gejala-gejala lain seperti misalnya waham atau pikiran obsesif;
b. Anxietas yang timbul harus terbatas pada (terutama terjadi dalam hubungan dengan) setidaknya dua dari situasi berikut: banyak orang / keramaian, tempat umum, bepergian keluar rumah, dan bepergian sendiri; dan
c. Menghindari situasi fobik harus atau sudah merupakan gejala yang menonjol (penderita menjadi “house bound”)
Gangguan Panik Tanpa Agorafobia adalah timbulnya serangan-serangan panik yang tak terduga dan berulang, dan adanya keprihatinan yang persistensi tentang hal tersebut taetapi tanpa disertai dengan agorafobia. Gangguan Panik Dengan Agorafobia adalah timbulnya serangan-serangan panik yang tak terduga dan berulang, dan adanya keprihatinan yang persistensi tentang hal tersebut tetapi dengan disertai dengan agorafobia.
Penanganan Gangguan Agoraphobia
Penanganan gangguan panik tanpa agorafobia biasanya dilakukan dengan menggunakan penanganan psikologis yaitu PCT (panic control theraphy) yang didalamnya memiliki tiga komponen utama yaitu training relaksasi, kombinasi intervensi behavioral, dan pemaparan dengan tanda-tanda internal yang memicu kepanikan. Sedangkan dalam melakukan penanganan gangguan panik dengan agoraphobia yaitu dengan penanganan biologi dan penanganan psikologis. Penangangan biologis memusatkan pada pemberian obat-obatan anti panic seperti obat antidepresan (alprazolam atau xanax). Namun terdapat pula sisi negatif bila menggunakan obat sebagai penanganan terhadap agoraphobia karena efek sampingnya bila obat itu dihentikan, memunculkan perasaan gugup dan juga pasien kecanduan dengan obat-obatan setiap gangguan itu timbul.
2. Gangguan Kecemasan Menyeluruh
adalah tingkat kecemasan dan kekhawatiran yang berlebihan serta persisten yang tidak terkait dengan suatu objek, situasi atau aktivitas tertentu.
Diagnosa :
Penderita harus menunjukkan anxietas sebagai gejala primer yang berlangsung hampir setiap hari untuk beberap minggu sampa beberapa bulan, yang tidak terbatas atau hanya menonjol pada keadaan situasi khusus tertentu saja (sifatnya “free floating” atau “mengambang”)
a. Kecemasan (khawatir akan nasib buruk, merasa seperti diujung tanduk, sulit konsentrasi, dsb.);
b. Ketegangan motorik (gelisah, sakit kepal, gemetaran, tidak dapat santai); dan
c. Overaktivitas otonomik (kepala terasa ringan, berkeringat, jantung berdebar-debar, sesak napas, keluhan lambung, pusing kepala, mulut kering, dsb.).
Pada anak-anak sering terlihat adanya kebutuhan berlebihan untuk ditenangkan (reassurance) serta keluhan-keluhan somatik berulang yang menonjol
Adanya gejala-gejala lain yang sifatnya sementara (untuk beberapa hari), khususnya depresi, tidak membatalkan diagnosis utama Gangguan Anxietas menyeluruh, selama ha tersebut tidak memenuhi kriteria lengkap dari episode depresif (F32.-), gangguan anxietas fobik (F40.-), gangguan panik (F41.0), atau gangguan obsesif-kompulsif (F42.-)
Penangangan untuk Kecemasan Menyeluruh
Untuk menangani GAD dengan cara penggunaan obat golongan benzodiazepine (obat penenang ringan). Obat tersebut dapat meredam kecemasan untuk beberapa waktu. Namun obat ini memiliki efek samping yaitu dapat mengakibatkan ketidakmampuan dalam fungsi kognitif dan motorik. Efek jangka Panjangnya yaitu dapat menurunkan tingkat waspada seseorang dalam beraktivitas. Selain dengan menggunakan obat-obatan dapat juga dilakukan dengan relaksasi atau klien diminta untuk membayangkan apa yang membuatnya cemas. Tidak hanya dengan itu dapat pula dilakukan dengan CBT (cognitive behavioral treatment) dimana pasien dibuat untuk mengalami kegelisahan selama sesi terapi dan diberi beberapa bayangan dan pikiran.
3. Fobia Khas
adalah kecemasan yang secara klinis signifikan, berhubungan dengan pemaparan terhadap situasi atau objek yang spesifik, sering kali disertai dengan penghindaran stimuli tersebut.
Diagnosa :
Semua kriteria dibawah ini harus dipenuhi untuk diagnosis pasti :
a. Gejala psikologis, perilaku atau otonomik yang timbul harus merupakan manifestasi primer dari anxietasnya dan bukan sekunder dari gejala-gejala lain seperti misalnya waham atau pikiran obsesif;
b. Anxietas harus terbatas pada adanya objek atau situasi fobik tertentu (highly specific situations) ; dan
c. Situasi fobik tersebut sedapat mungkin dihindarinya.
Pada fobia khas ini umumnya tidak ada gejala psikiatrik lain, tidak seperti halnya agorafobia dan fobial sosial.
Penanganan Fobia Khas
Dalam penanganannya yaitu dengan latihan berbasis pemaparan yang terstruktur dan konsisten. Jadi, mereka perlahan-lahan dilatih untuk membiasakan diri dekat atau menyentuh atau melihat atau melakukan apapun yang di sekitarnya ada hal yang di fobia kan tersebut. Dalam pengerjaannya pula dilakukan pengawasan teraupetik. Hal ini diperlukan karena biasanya orang-orang dengan gangguan fobia khas ini sering melakukan penanganann sendir yang justru berlebihan dan flooding sehingga bukannya menurunkan dan memperbaiki rasa fobia itu melainkan justru memperparah kondisi.
4. Fobia Sosial
adalah kecemasan yang secara klinis signifikan, berhubungan dengan pemaparan terhadap situasi sosial atau situasi performa (harus melakukan sesuatu), sering kali disertai dengan penghindaran stimuli tersebut.
Diagnosa :
Semua kriteria dibawah ini harus dipenuhi untuk diagnosis pasti :
a. Gejala psikologis, perilaku atau otonomik yang timbul harus merupakan manifestasi primer dari anxietasnya dan bukan sekunder dari gejala-gejala lain seperti misalnya waham atau pikiran obsesif;
b. Anxietas harus mendominasi atau terbatas pada situasi sosial tertentu (outside the family circle) ; dan
c. Menghindari situasi fobik harus atau sudah merupakan gejala yang menonjol.
Bila terlalu sulit membedakan antara fobia sosial dengan agorafobia, hendaknya diutamakan diagnosis agorafobia (F40.0).
Penanganan Fobia Sosial
Penanganan yang dilakukan untuk fobia sosial adalah dengan menggunakan CBGT (terapi kelompok kognitif-behavioral) dimana dalam terapinya aka nada kelompok-kelompok dan kelompok itu diminta untuk bermain peran akan social fobiknya dan diperankan depan kelompok lainnya. Maka aka nada role playing disitu yang dapat mengubah persepsi klien yang negative atau buruk mengenai lingkungan social disekitarnya.
5. Gangguan Obsesif-Kompulsif
adalah obsesi dan/atau kompulsi yang berulang. pembahasan mengenai gangguan obsesive kompulsive telah kami bahas di halaman obsessive compulsive disorder pada halaman sebelumnya.
Diagnosa :
Untuk menegakkan diagnosis pasti, gejala-gejala obsesif atau tindakan kompulsif, atau kedua-duanya, harus ada hampir setiap hari selama sedikitnya dua mingga berturut-turut. Hal tersebut merupakan sumber penderitaan (distress) atau mengganggu aktivitas penderita.
Gejala-gejala obsesif harus mencakup hal-hal berikut :
a. Harus disadari sebagai pikiran atau impuls diri sendiri;
b. Sedikitnya ada satu pikiran atau tindakan yang tidak berhasil dilawan, meskipun ada lainnya yang tidak lagi dilawan oleh penderita;
c. Pikiran untuk melakukan tindakan tersebut diatas bukan merupakan hal yang memberi kepuasan atau kesenangan (sekedar perasaan lega dari ketegangan atau anxietas, tidak dianggap sebagai kesenangan seperti dimaksud diatas);
d. Gagasan, bayangan pikiran, atau impuls tersebut harus merupakan pengulangan yang tidak menyenangkan (unpleasantly repetitive).
Ada kaitan erat antara gejala obsesif, terutama pikiran obsesif, dengan depresi. Penderita gangguan obsesif kompulsif seringkali juga menunjukkan gejala depresif dan sebaliknya penderita gangguan depresi berulang (F33.-) dapat menunjukkan pikiran-pikiran obsesif selama episode depresif-nya.
Dalam berbagai situasi dari kedua hal tersebut, meningkat atau menurunnya gejala depresif umumnya dibarengi secara paralel dengan perubahan gejala obsesif.
Bila terjadi episode akut dari gangguan tersebut, maka diagnosis diutamakan dari gejala-gejala yang timbul lebih dahulu.
Diagnosis gangguan obsesif-kompulsif ditegakkan hanya bila tidak ada gangguan depresif pada saat gejala obsesif kompulsif tersebut timbul.
Bila dari keduanya tidak ada yang menonjol, maka lebih baik menganggap depresi sebagai diagnosis yang primer. Pada gangguan menahun, maka prioritas diberikan pada gejala yang paling bertahan saat gejala yang lain menghilang.
Gejala obsesif “sekunder” yang terjadi pada gangguan skizofrenia, sindrom Tourette, atau gangguan mental organik, harus dianggap sebagai bagian dari kondisi tersebut.
Penanganan pada Obsesif Kompulsif
Penanganan pada obsesif kompulsif adalah dengan menggunakan obat-obatan seperti reuptake serotonin yang dapat memberikan manfaat pada pasien OCD. Namun sebenarnya penanganan OCD yang teratur secara psikologis lebih berefek dibandingkan dengan penanganan dengan penggunaan obat-obatan. Dalam prosesnya segala macam ritual atau hal yang menyebabkan OCD itu muncul dicegah secara aktif dan juga sistematis dan dipapari dengan pemikiran yang dapat menakuti pasien. Tidak hanya itu, penanganan pada pasien OCD dapat dilakukan dengan terapu perilaku rasional emotif dengan cara membantu pasien untuk menghapuskan keyakinan bahwa segala sesuatu harus berjalan sesuai keinginannya atau harus sempurna. Pasien didorong untuk tidak melakukan ritual kompulsif dengan memberikan konsekuensi yang mengerikan bila melakukan hal tersebut.
6. Gangguan Stres Pasca Trauma
adalah pengalaman mengalami kembali peristiwa yang sangat traumatis disertai dengan meningkatnya keterangsangan dan penghindaran stimuli yang diasosiasikan dengan peristiwa tersebut.
Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun waktu 6 bulan setelah kejadian traumatik berat (masa laten yang berkisar antara beberapa minggu sampai beberapa bulan, jarang sampai melampaui 6 bulan)
Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu mulai saat kejadian dan onset gangguan melebihi waktu 6 bulan, asal saja manifestasi klinisnya adalah khas dan tidak didapat alternatif kategori gangguan lainnya.
Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayang-bayang atau mimpi-mimpi dari kejadian traumatik tersebut secara berulang-ulang kembali.
Gangguan otonomik, gangguan afek dan kelainan tingkah laku semuanya dapat mewarnai diagnosis tetapi tidak khas.
Suatu “sequelae” menahun yang terjadi lambat setelah stres luar biasa, misalnya saja beberapa puluh tahun setelah trauma, diklasifikasi dalam kategori F62.0 (perubahan kepribadian yang berlangsung lama setelah mengalami katastrofa).
Penanganan Gangguan Stress Pascatrauma
Penanganan gangguan stress pascatrauma dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu pendekatan kognitif behavioral serta dengan pendekatan psikoanalisis. Bila dengan pendekatan pertama yaitu dengan pemaparan dimana klien dihadapkan dengan apa yang paling dihindarinya. Namun tidaklah semudah itu melakukan pemaparan Karena harus terlihat jelas dan rinci juga apa yang menjadi penyebab trauma dan sebagainya dan juga menghindari flooding yang terjadi apabila tidak dirinci dan diperhitungkan dengan baik. Terdapat pula terapi terbaru dengan realitas virtual yang digunakan dalam GSPT untuk membuat pemaparan menjadi lebih dramatis dan nyata pada saat muncul dalam imajinasi pasien. Penanganan juga dapat dilakukan dengan pendekatan psikoanalisis dengan cara trauma berinteraksi dengan kepribadian pratrauma pasien dan penanganan dilakukan dengan menghidupkan kembali trauma emosional untuk melepaskan penderitaan emosionalnya tersebut dan disebut dengan katarsis.
7. Gangguan Stres Akut
adalah ciri-ciri gangguan yang serupa dengan gangguan stres pascatrauma tetapi terbatas pada hari-hari atau minggu-minggu sesudah pemaparan terhadap trauma.
Diagnosa :
Harus ada kaitan waktu kejadian yang jelas antara terjadinya pengalaman stressor luar biasa (fisik atau mental) dengan onset dari gejala, biasanya setelah beberapa menit atau segera setelah kejadian.
Selain itu ditemukan gejala-gejala :
a. Terdapat gambara gejala campuran yang biasanya berubah-ubah; selain gejala permulaan berupa keadaan “terpaku” (daze), semua hal berikut dapat terlihat : depresi, anxietas, kemarahan, kecewa, overaktif dan penarikan diri.
Akan tetapi tidak satupun dari gejala tersebut yang mendominasi gambaran klinisnya untuk waktu yang lama.
b. Pada kasus-kasus yang dapat dialihkan dari lingkup stressornya, gejala-gejalaa dapat menghilang dengan cepat (dalam beberapa jam); dalam hal dimana stres menjadi berkelanjutan atau tidak dapat dialihkan, gejala-gejala biasanya baru mereda setelah 24-28 jam dan biasanya hampir menghilang setelah 3 hari.
Diagnosis ini tidak boleh digunakan untuk keadaan kambuh mendadak dari gejala-gejala pada individu yang sudah menunjukka gangguan psikiatrik lainnya.
Kerentanan individual dan kemampuan menyesuaikan diri memegang peranan dalam terjadinya atau beratnya suatu reaksi stres akut.
Penanganan Gangguan Stress Akut (ASD)
Penanganan gangguan stress pascatrauma dan stress akut dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu pendekatan kognitif behavioral serta dengan pendekatan psikoanalisis. Bila dengan pendekatan pertama yaitu dengan pemaparan dimana klien dihadapkan dengan apa yang paling dihindarinya. Namun tidaklah semudah itu melakukan pemaparan Karena harus terlihat jelas dan rinci juga apa yang menjadi penyebab trauma dan sebagainya dan juga menghindari flooding yang terjadi apabila tidak dirinci dan diperhitungkan dengan baik. Terdapat pula terapi terbaru dengan realitas virtual yang digunakan dalam GSPT untuk membuat pemaparan menjadi lebih dramatis dan nyata pada saat muncul dalam imajinasi pasien.
Penanganan juga dapat dilakukan dengan pendekatan psikoanalisis dengan cara trauma berinteraksi dengan kepribadian pratrauma pasien dan penanganan dilakukan dengan menghidupkan kembali trauma emosional untuk melepaskan penderitaan emosionalnya tersebut dan disebut dengan katarsis. Tidak hanya itu, untuk menangani gangguan PTSD dan ASD ini dapat dengan pendekatan biologis dengan cara menggunakan obat-obatan seperti antidepresan dan tranquilizer. Obat-obatan digunakan untuk mengatasi berbagai kondisi lain yang dialami bersamaan dengan munculnya PTSD maupun ASD yaitu seperti depresi. Namun, bantuan dari lingkungan sosial lah yang paling dapat berperan besar dalam proses penanganan dan penyembuhan dari klien dengan PTSD dan ASD. Karena peranan sosial dapat memberikan kepercayaan diri dan keyakinan bahwa akan dapat lepas secara perlahan namun pasti dengan gangguan yang dideritanya.
Sumber:
Davison, Gerald C, dkk. 2010. Psikologi Abnormal Edisi Ke-9. Jakarta : Rajagrafindo Persada.
Fausiah, F., & Widury, J. (2008). Gangguan Cemas, Dalam Basri, A.S. (Ed)., Psikologi Abnormal Klinis Dewasa. (Hal 73-102). Jakarta : UI-Press.
Mark, V. Durand, dkk. 2006. Intisari Psikologi Abnormal. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Muslim, Rusdi. 2003. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III. Jakarta : Nuh Jaya
Nevid, Jeffrey S, dkk. 2003. Psikologi Abnormal Edisi Kelima Jilid 1. Jakarta : Erlangga
No comments:
Post a Comment