Etiologi disosiatif
Menurut
Davison, dkk (2004), istilah gangguan disosiatif merujuk pada mekanisme,
dissosiasi, yang diduga menjadi penyebabnya. Dalam buku yang dia tulis
menuturkan bahwa konsep gangguan disosiatif berasal dari tulisan karya Pierre
Janet yang menyatakan bahwa kesadaran biasanya merupakan kesatuan pengalaman,
termasuk kognisi, emosi dan motivasi, namun dalam kondisi stres, memori trauma
dapat disimpan dengan suatu cara sehingga di kemudian hari tidak dapat diakses
oleh kesadaran seiring dengan kembali normalnya kondisi orang yang
bersangkutan, sehingga kemungkinan akibatnya adalah amnesia atau fugue (Kihlsstrom,
Tataryn, & Holt, (1993) dalam Davison, dkk (2004)).
Pandangan
behavioral mengenai gangguan disosiatif agak mirip dengan berbagai spekulasi
awal tersebut. Secara umum para teoris behavioral menganggap dissosiasi sebagai
respon penuh stres dan ingatan akan kejadian tersebut. Etiologi gangguan
identitas disosiatif. Terdapat dua teori besar mengenai gangguan identitas
disosiatif. Salah satu teori berasumsi bahwa gangguan identitas disosiatif
berawal pada masa kanak-kanak yang diakibatkan oleh penyiksaan secara fisik
atau seksual. Penyiksaan tersebut mengakibatkan dissosiasi dan terbentuknya
berbagai kepribadian lain sebagai suatu cara untuk mengatasi trauma (gleaves,
1996). Teori lain beranggapan bahwa gangguan identitas disosiatif merupakan
pelaksanaan peran sosial yang dipelajari. Berbagai kepribadian yang muncul pada
masa dewasa umumnya karena berbagai sugesti yang diberikan terapis (lilienfel
dkk, 1999; spanos, 1994). Dalam teori ini gangguan identitas disosiatif tidak
dianggap sebagai penyimpangan kesadaran; masalahnya tidak terletak pada apakah gangguan
identitas disosiatif benar- benwar dialami atau tidak, namun bagaimana gangguan
identitas disosiatif terjadi dan menetap.
Terapi disosiatif
Mac
Gregor (1996) mengatakan bahwa dalam tiga gangguan disosiatif, amnesia, fugue
dan gangguan identitas disosiatif, para penderita menunjukkan perilaku yang
secara sangat meyakinkan menunjukkan bahwa mereka tidak dapat mengakses
berbagai bagian kehidupan pada masa lalu yang terlupakan. Oleh sebab itu,
terdapat hipotesis bahwa ada bagian besar dalam kehidupan mereka yang direpres
atau didisosiasikan merupakan hipotsis yang meyakinkan (Davison, dkk (2004).
Oleh sebab itu terapi psikoanalisis lebih banyak dipilih untuk menangani
gangguan disosiatif. Hal ini tidak lain bertujuan untuk mengangkat represi yang
telah dilakukan subjek. Dalam Davison (2004) mengatakan bahwa gangguan
disosiatif muncul diakibatkan adanya kejadian traumatik yang berusaha ditekan
ke alam bawah sadar subjek yang bersangkutan.
Pada
gangguan identitas disosiatif, Davison menjelaskan bahwa hipnotis umum dapat digunakan
dalam penanganan gangguan identitas disosiatif. Secara umum, pemikirannya
adalah pemulihan kenangan menyakitkan yang direpres akan difasilitasi dengan
menciptakan kembali situasi penyiksaan pada masa sebelumnya yang diasumsikan telah
dialami oleh pasien. Pada umumnya seseorang dihipnotis dan didorong agar
mengembalikan pikiran mereka kembali ke peristiwa masa kecil. Yang diharapkan
adalah dengan mengakses kenangan traumatik tersebut maka akan memungkinkan
orang yang bersangkutan menyadari bahwa bahaya dari masa kecilnya saat ini
sudah tidak ada dan bahwa kehidupannya yang sekarang tidak perlu dikendalikan
oleh kejadian masa lalu tersebut. Namun dalam bukunya, Davison juga menyatakan
bahwa penggunaan terapi pemulihan kenangan dapat berbahaya dan dapat
mengakibatkan semakin parahnya simtom – simtom pada pasien gangguan identitas
disosiatif. Davison (2004) menyayangkan bahwa dalam kebanyakan literatur kurang
begitu banyak membahas dan menekankan
intervensi berbasis keluarga dibandingkan intervensi berbasis individu dalam
penanganan gangguan identitas disosiatif. Dalam argumennya Davison menyatakan
bahwa gangguan identitas disosiatif diyakini diakibatkan oleh hubungan keluarga
yang bermasalah.
Terlepas
dari orientasi klinis dari berbagai sumber Davison (2004) menyebutkan beberapa
prinsip yang disepakati secara luas yaitu:
1.
Tujuannya adalah integrasi beberapa
kepribadian.
2.
Setiap kepribadian harus dibantu untuk
memahami bahwa dia adalah bagian dari satu orang dan kepribadian - kepribadian
tersebut dimunculkan oleh diri sendiri.
3.
Terapis harus menggunakan nama setiap
kepribadian hanya untuk menyamakan, bukan sebagai cara untuk menegaskan
eksistensi kepribadian yaqng terpisah dan otonom yang tidak memilkiki tanggung
jawab secara keseluruhan atas berbagai tindakan orang yang berangkutan secara
keseluruhan.
4.
Seluruh kepribadian harus diperlakukan
dengan adil dan empati.
5.
Terapis harus mendorong empatidan kerja
sama diantara berbagai kepribadian.
6.
Diperlukan kelembutan dan dukungan
berkaitan dengan trauma masa kanak – kanak yang mungkin telah memicu munculnya
berbagai kepribadian (Bower dkk, 1971; Cady, 1985; Kluft, 1985, 1999; Ross,
1989).
Tujuan
setiap pendekatan terhadap gangguan identitas disosiatif haruslah untuk
meyakinkan penderita bahwa memecah diri menjadi beberapa kepribadian yang
berbeda tidak lagi diperlukan untuk menghadapi berbagai trauma, baik trauma di
masa lalu yang memicu disosiasi awal, trauma di masa sekarang atau trauma di
masa yang akan datang.
No comments:
Post a Comment