Obsessive-compulsive
disorder (OCD) merupakan gangguan atau kelainan nomor empat
paling umum dalam dunia psikiatri (Bobes, J, et al., 2001). Sedangkan data dari
WHO menunjukkan bahwa gangguan OCD menempati posisi ke-10 yang paling membuat
orang menjadi tidak mampu (disability)
serta menempati posisi ke-5 yang paling sering terjadi pada perempuan berusia
15-44 tahun (Bobes, J, et.al., 2001). Di Amerika Serikat sendiri, populasinya mencapai
2% - 3% dari total populasi.
OCD merupakan gangguan kronis yang memiliki dampak
negatif pada kehidupan penderita. Dampaknya antara lain pada akademis, okupasi,
kehidupan sosial, dan juga kehidupan keluarganya bahkan hingga kualitas
hidupnya secara keseluruhan serta kesehatan fisiknya (Akdede et al., 2005;
Antony et al., 1998; Bobes et al., 2001; Bystritsky et al., 1999, 2001; Eisen
et al., 2006; Koran et al., 1996; Masellis et al., 2003; Moritz et al., 2005;
Rapaport et al., 2005; Rodriguez-Salgado et al., 2006; Stengler-Wenzke et al.,
2006, dalam Saxena, S, et.al., 2011).
Berdasarkan kriteria
DSM-IV-TR, obsesi merupakan pikiran yang berulang dan menetap, impuls-impuls,
atau dorongan yang menyebabkan kecemasan. Sedangkan kompulsi, perilaku dan
tindakan mental repetitive yang
dilakukan seseorang untuk menghilangkan ketegangan. Beberapa tanda-tanda
perilakunya antara lain: (1) mengupayakan kebersihan dan keteraturan,
kadangkala melalui upacara/cara yang rumit yang memakan waktu berjam-jam dan
bahkan sepanjang hari; (2) menghindari
objek tertentu, seperti menghindari segala sesuatu yang berwarna cokelat,dsb;
(3) melakukan praktek-praktek repetitis, magis, dan protektif, seperti
menghitung, mengucapkan angka tertentu, atau menyentuh semacam jimat atau
bagian tubuh tertentu; atau (4) mengecek sebanyak tujuh atau delapan kali untuk
memastikan bahwa tindakan yang telah dilakukan telah benar-benar dilakukan.
(Bennet, 2006).
Uraian di atas menunjukkan bahwa penanganan bagi
penderita OCD tentunya penting untuk dilakukan, terutama bagi “kebiasaan”
penderita untuk mencuci tangan sesering mungkin karena merasa tangannya kotor.
“Kebiasaan” ini tentu akan menghabiskan waktunya, tenaga, dan uang, untuk
membeli sabun misalnya. Sehingga penderita akan merasa terganggu dan juga
orang-orang yang ada di sekitarnya. Di saat yang sama, penderita akan merasa
tidak percaya diri karena merasa dirinya “aneh” dan “berbeda” dari orang-orang
di sekelilingnya. Penderita OCD juga memiliki konsep berpikir yang salah
mengenai kebersihan yang mana nantinya dapat “berkembang” lebih buruk bila
tidak segera ditangani.
Bennet, Paul. 2006. Abnormal and Clinical Psychology: An Introductory Textbook (2nd edition). New York: Mc.Graw Hill-Open University Press.
Bobes, J., et al. (2001). Quality of life and disability in patients with obsessive compulsive disorder. Eur Psychiatry, 16, 239-245.
Miltenberger, Raymond G. (2004). Behavior Modification: Principles and Procedures, third edition. California: Thomson Wadsworth
Saxena, S., et al. (2011). Quality of life and functional impairment in compulsive hoarding. Journal of Psychiatric Research, 45, 475-480.
No comments:
Post a Comment