Pengertian Adversity Quotient
Adversity Quotient (AQ) dikembangkan pertama kali oleh Paul G. Stoltz. Seorang konsultan yang sangat terkenal dalam topik- topik kepemimpinan di dunia kerja dan dunia pendidikan berbasis skill, Ia menganggap bahwa IQ dan EQ yang sedang marak dibicarakan itu tidaklah cukup dalam meramalkan kesuksesan seseorang. Stoltz mengelompokkan individu menjadi tiga: quitter, camper, dan climber. Penggunaan istilah ini memang berdasarkan pada sebuah kisah ketika para pendaki gunung yang hendak menaklukan puncak Everest. Ia melihat ada pendaki yang menyerah sebelum pendakian selesai, ada yang merasa cukup puas sampai pada ketinggian tertentu, dan ada pula yang benar-benar berkeinginan menaklukan puncak tersebut. Dari pengalaman tersebut kemudian Stoltz mengistilahkan orang yang berhenti di tengah jalan sebelum usai sebagai quitter, kemudian mereka yang merasa puas berada pada posisi tertentu sebagai camper, sedangkan yang terus ingin meraih kesuksesan ia disebut sebagai climber.
Adversity quotient merupakan kecerdasan yang dimiliki seseorang ketika menghadapi permasalahan, atau bisa dikatakan merupakan kecerdasan daya juang seseorang. Stolz (2000) mengatakan bahwa adversity quotient:
1. Adversity quotient menjelaskan kepada kita bagaimana sebaiknya tetap bertahan pada masa-masa kesulitan dan meningkatkan kemampuan kita untuk mengatasinya.
2. Adversity quotient memprediksi siapa saja yang akan dapat mengatasi kesulitan dan siapa saja yang tidak akan dapat mengatasinya.
3. Adversity quotient memprediksi siapa saja yang akan memiliki harapan yang tinggi terhadap kinerjanya dan siapa yang tidak.
4. Adversity quotient memprediksi siapa yang menyerah dan yang mampu bertahan.
Menurut Stoltz (2000), suksesnya pekerjaan dan hidup terutama ditentukan oleh Adversity Quotient (AQ). Dikatakan juga bahwa adversity quotient berakar pada bagaimana kita merasakan dan menghubungkan dengan tantangan-tantangan. Orang yang memiliki adversity quotient lebih tinggi tidak menyalahkan pihak lain atas kemunduran yang terjadi dan mereka bertanggung jawab untuk menyelesaikan masalah.
Adversity Quotient mempunyai tiga bentuk:
1. Suatu kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan,
2. Suatu ukuruan untuk mengetahui respons seseorang terhadap kesulitan,
3. Serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respons seseorang terhadap kesulitan.
Jadi, gabungan ketiga unsur ini yaitu pengetahuan, tolok ukur, dan peralatan, adalah sebuah paket untuk memahami dan memperbaiki kehidupan.
Dimensi Adversity Quotient
Stoltz dalam bukunya merumuskan empat komponen utama dalam mengindikasikan Adversity Quotient. Empat komponen itu sering disebut dengan CO2RE yaitu Control, Ownership dan Origin, Reach, dan Endurance. Keempat dimensi tersebut merupakan hasil berbagai penelitian dari tiga cabang ilmu pengetahuan yang membangun konsep AQ. Skor dari keempat dimensi tersebut akan menentukan nilai AQ keseluruhan seseorang. Akan tetapi, berdasarkan hasil penelitian lanjutan yang dilakukan pada dimensi origin dan ownership (O2), Stoltz menyatakan bahwa yang terpenting dari origin dan ownership (O2) adalah bukan siapa atau apa yang harus disalahkan (origin) tapi lebih pada sejauh apa orang-orang mengambil tanggung jawab terhadap situasi yang sulit (ownership) untuk mengarahkan situasi tersebut menjadi lebih baik (Stoltz, 2000). Sehingga pada selanjutnya Stoltz mengubah dimensi-dimensi AQ menjadi CORE dengan menghilangkan dimensi origin, karena menurut Stoltz dimensi origin (asal usul suatu peristiwa) merupakan bagian dari dimensi ownership (pengakuan), penjelasannya sebagai berikut :
1. Control,
Pada dimensi ini mempertanyakan seberapa desar seseorang mampu untuk mengendalikan suatu permasalahan secara positif. kendali diawali dengan pemahaman bahwa sesuatu, apapun itu, dapat dilakukan. Individu dengan skor kontrol yang tinggi mampu mengubah situasi secara positif dan mempunyai kendali yang lebih besar atas kesulitan yang dihadapi. Dalam hal ini, keuletan dan tidak kenal menyerah muncul dari orang dengan skor kontrol yang tinggi. Tidak hanya itu, individu dengan skor kontrol yang tinggi mempunyai tingkat kendali yang kuat untuk bertahan terhadap peristiwa buruk dan dapat menyelesaikannya dengan pendekatan yang lebih efektif. Sedangkan untuk individu dengan skor kontrol yang sedang merespon peristiwa buruk sebagai sesuatu yang sekurang-kurangnya berada dalam kendali dirinya, tergantung dari seberapa sulit masalah yang dihadapi. Individu mungkin tidak mudah menyerah, namun sulit mempertahankan kendali bila dihadapkan pada tantangan yang lebih berat lagi. Dan untuk individu yang memiliki tingkat kontrol yang rendah merasakan ketidakmampuan mengubah situasi, karena merasa peristiwa buruk atau kesulitan yang dialami berada di luar kendalinya, sehingga hanya sedikit yang dapat dilakukan oleh individu tersebut untuk mencegah atau membatasi akibat dari kesulitan tersebut. Dan pada akhirnya individu ini hanya menyerah pada keadaan.
2. Ownership,
Dalam dimensi ini menanyakan sejauh manakah seseorang mengakui efek dari kesulitan. Mengakui akibat yang ditimbulkan oleh kesulitan mencerminkan tanggung jawab dari suatu peristiwa sulit yang dialami, apapun penyebabnya dan berfokus pada usaha mencari solusi. Dimensi ini secara sederhana menyatakan bahwa apabila terjadi sesuatu yang salah, maka seseorang memegang peranan penting dalam memperbaikinya, tanpa memperhatikan kesalahan atau hal-hal yang menjadi penyebab. Maka yang muncul dari diri individu berkaitan dengan dimensi ini adalah rasa percaya, proses belajar, dan kemajuan diri. Individu dengan AQ tinggi pada dimensi ini merespon kesuksesan sebagai pekerjaan dan kesulitan sebagai sesuatu yang berasal dari dalam dirinya. Individu dengan tingkat ownership yang tinggi akan mengakui akibat dari suatu perbuatan, apapun penyebabnya dan bertanggung jawab untuk memperbaikinya. Individu dengan tingkat ownership yang rendah tidak mengakui akibat-akibat dari perbuatan, apapun penyebabnya. Dalam hal ini, individu akan menolak mengakui dengan menghidar diri dari tanggung jawab untuk mengatasi masalah tersebut.
Mempertanyakan sejauh mana kesulitan akan menjangkau bagian-bagian lain dari kehidupan individu. Semakin rendah jangkauan (reach) seseorang, semakin besar kemungkinan individu menganggap peristiwa buruk sebagai bencana, dengan membuat kesulitan meluas hingga ke bagian-bagian lain dari kehidupan orang tersebut. Individu dengan reach yang rendah pada umumnya akan merespon kesulitan sebagai sesuatu yang memasuki wilayah lain kehidupannya dan menganggap peristiwa yang baik sebagai sesuatu yang kebetulan dan terbatas jangkauannya. Akibat yang lainnya akan merusak kebahagiaan dan ketenangan pikiran ketika berhadapan dengan peristiwa sulit. Sebaliknya semakin besar reach seseorang, semakin besar kemungkinan individu membatasi jangkauan masalahnya pada peristiwa yang sedang dihadapi. Individu dengan skor reach yang sedang merespon peristiwa yang mengandung kesulitan sebagai sesuatu yang spesifik, namun kadang membiarkan peristiwa itu memasuki wilayah lain dalam kehidupannya. Ketika individu merasa kecewa, mungkin dia akan menganggap kesulitan sebagai bencana, dan menjadikan kesulitan itu lebih meluas dan hebat daripada semestinya. Individu dengan reach tinggi akan merespon kesulitan sebagai sesuatu yang spesifik dan terbatas. Semakin efektif individu menahan atau membatasi jangkauan kesulitan, dia akan merasa dapat berpikir jernih dan semakin berdaya untuk mengambil tindakan.
4. Endurance,
Pada dimensi ini terdapat dua hal yang berkaitan, yakni berapa lama kesulitan akan berlangsung dan berapa lama penyebab kesulitan akan berlangsung. Individu dengan skor endurance yang tinggi akan merespon kesulitan dan penyebabnya sebagai sesuatu yang sifatnya sementara, cepat berlalu, dan kecil kemungkinannya terjadi lagi. Hal ini akan meningkatkan energi, optimisme, dan kemungkinan untuk meningkatkan kemampuan dalam mengatasi kesulitan serta tantangan yang lebih besar. Individu dengan skor endurance yang sedang akan merespon peristiwa buruk dan penyebabnya sebagai sesuatu yang berlangsung lama. Terkadang membuat individu menunda mengambil tindakan yang konstruktif. Individu dengan skor endurance yang rendah pada umumnya menganggap kesulitan atau penyebab-penyebabnya akan berlangsung lama atau bahkan tak berkesudahannya. Hal ini akan memunculkan respon perasaan tidak berdaya atau hilang harapan. Individu yang melihat kemampuan diri mereka sebagai penyebab kegagalan (penyebab yang stabil) cenderung kurang bertahan dibandingkan dengan orang yang mengaitkan kegagalan sebagai usaha (penyebab yang sifatnya sementara) yang mereka lakukan.
Sumber:
Stoltz. G poul. Adversity Quotient.2000. Mengubah Hambatan Menjadi
Peluang. Jakarta.Grasindo
No comments:
Post a Comment