Konsep ketidakberdayaan yang dipelajari (learned helplessness) berasal dari percobaan Seligman (1965) pada hewan guna mengetahui hubungan antara rasa takut dan perilaku menghindar. Dalam penelitian tersebut didapatkan hasil perilaku hewan yang cenderung tidak memiliki inisiatif untuk melarikan diri ketika menghadapi stimulus yang menyakitkan yang tidak mungkin mereka hindari (Maier, Peterson, & Schwartz, 2000; Miller & Seligman, 1975). Kondisi learned helplessness menurut Abramson, dkk (dalam Sitompul, 2009), yaitu perasaan kurang mampu mengendalikan lingkungannya yang membimbing pada sikap menyerah atau putus asa dan mengarahkan pada atribusi diri yang kuat bahwa dia tidak memiliki kemampuan.
Hipotesis ketidakberdayaan yang dipelajari menyatakan bahwa pembelajaran mengganggu pembentukan asosiasi antara respon melarikan diri (yaitu, pindah ke zona aman) dan penghentian shock. Pembelajaran ini kemudian melemahkan motivasi untuk mencoba untuk melarikan diri (Maier, Peterson, & Schwartz, 2000). Menurut teori ini, ketidakberdayaan yang dipelajari terjadi pertama kali ketika seseorang merasakan situasi sebagai stress yang tidak menguntungkan atau tantangan. Oleh karena itu, individu mengidentifikasi tindakan yang potensial untuk memanipulasi situasi untuk meredakan tantangan dan stress agar menjadi lebih menguntungkan. Setelah beberapa usaha yang gagal untuk mempengaruhi situasi untuk hasil yang diinginkan oleh individu, maka individu akan belajar untuk menerima hal yang tidak menyenangkan, yang menjadi stressor individu tersebut (Maier, Peterson, & Schwartz, 2000).
Menurut peneliti dari Grundvig Partnership (2010) mengemukakan definisi learned helplessness sebagai persepsi atau perasaan tidak mampu untuk merubah arah hidup seseorang, sebagai sebuah pembelajaran dari kegagalan sebelumnya. Penyebab dari ketidakberdayaan yang dipelajari dapat dikaitkan secara internal, eksternal atau keduanya, untuk individu atau kelompok sosial. Hal ini dapat mengakibatkan bentuk baru pengucilan yang mencegah perkembangan pribadi yang positif.
Berdasarkan pengertian-pengertian yang dikemukakan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa definisi ketidakberdayaan yang dipelajari adalah kondisi dimana suatu organisme tidak memiliki kekuatan untuk bertindak dan keluar dari situasi yang menyakitkan ditambah lagi dengan kecenderungan dirinya untuk mengatribusikan situasi tersebut sebagai sesuatu yang bersifat internal, permanen, dan menyeluruh.
Terdapat tiga komponen dasar yang menyebabkan terjadinya proses ketidakberdayaan yang dipelajari, yaitu: informasi yang tidak tentu mengenai apa yang akan terjadi, representasi kognitif (belajar, pengharapan, persepsi, dan kepercayaan), dan perilaku terhadap apa yang akan terjadi.
Individu memiliki informasi yang tidak tentu mengenai hasil dari responnya terhadap suatu peristiwa. Informasi ini merupakan informasi yang berasal dari lingkungan individu (informasi objektif) dimana respon dan hasil dari respon merupakan dua hal yang berdiri sendiri, bukan informasi yang berasal dari individu sendiri (informasi subyektif).
Informasi yang tidak tentu tersebut akan diproses dan ditransformasikan dikognitifnya. Komponen representasi kognitif (sistem kepercayaan) tersebut akan membangun pengharapan yang salah mengenai hasil dari responnya terhadap suatu peristiwa. Individu akan merasa bahwa respon yang baik akan menghasilkan hasil yang baik pula. Kenyataannya respon yang baik tidak selalu diiringi oleh hasil yang baik pula. Pengharapan yang salah tersebut akan menyebabkan individu tidak memiliki kontrol terhadap suatu peristiwa dimana respon dan hasil merupakan dua hal yang bebas. Individu yang tidak memiliki kontrol terhadap suatu peristiwa akan mengalami penurunan motivasi, kognitif, dan emosional. Ketiga penurunan tersebut akan memunculkan learned helplesseness (ketidakberdayaan yang dipelajari) mengenai bagaimana perilaku individu yang akan datang.
Ketidakberdayaan juga memiliki hubungan dengan model eksplanatori pesimistik. Penelitian Peterson & Barrett (1987, dalam Martinez, 2000) menyatakan bahwa model eksplanatori pesimistik akan membuat individu mengarah kepada keadaan ketidakberdayaan. Pernyataan tersebut didukung oleh pernyataan Seligman (1976, dalam LeRoy, 1999) yang menyatakan bahwa model eksplanatori adalah regulator besar dari ketidakberdayaan yang dipelajari dan merupakan kebiasaan pemikiran yang dipelajari di masa kanak-kanak dan remaja. Ketika Individu mengalami situasi learned helplessness, maka konsekuensi negatif yang akan terjadi adalah penurunan motivasi dalam pemecahan masalah (Seligman, 1978; Mauk, 1979), perilaku dependen dan pasif (Slimmer, 1987), penurunan kemampuan koping perilaku, ekspresi emosi, dan associative learning (Overmier & Seligman, 1967).
Dimensi Ketidakberdayaan Yang Dipelajari
Peneliti dari Grundvig Partnership (2010) mengemukakan definisi learned helplessness sebagai persepsi atau perasaan tidak mampu untuk merubah arah hidup seseorang, sebagai sebuah pembelajaran dari kegagalan sebelumnya. Penyebab dari ketidakberdayaan yang dipelajari dapat dikaitkan secara internal, eksternal atau keduanya, untuk individu atau kelompok sosial. Hal ini dapat mengakibatkan bentuk baru pengucilan yang mencegah perkembangan pribadi yang positif. Brdasarkan pengertian yang ada maka dapat dibuat dimensi dari learned helplessness yaitu:
Persepsi atau perasaan tidak mampu pada individu mengenai permasalahan yang dihadapinya. Individu akan merasa bahwa permasalahan yang dia hadapi merupakan permasalahan yang cukup sulit hingga individu tersebut merasa bahwa dia tidak memiliki kemampuan untuk mengatasi permasalahan yang ada.
2. Personal Features(Fitur Personal)
Kondisi personal pada individu dirasa akan menghambat seseorang dalam menyelesaikan permasalahan yang dimilikinya. Individu berpandangan bahwa tipe kepribadian, kondisi fisik, postur tubuh,serta masa lalu yang dia alami merupakan faktor penghambat dalam penyelesaian permasalahan yang dialami oleh individu.
3. Social Features(Fitur Sosial)
Kondisi fitur sosial pada individu dirasa akan menghambat seseorang dalam menyelesaikan permasalahan yang dimilikinya. Individu berpandangan bahwa latar belakang budaya, kurangnya pendidikan, serta kondisi lingkungan masyarakat merupakan faktor penghambat dalam penyelesaian permasalahan yang ada.
4. Change Enables Conditions(kondisi untuk berubah)
Individu merasa perubahan dalam dirinya adalah hal yang tidak mungkin. Individu mempersepsikan diri bahwa keadaan yang individu hadapi merupakan keadaan yang mustahil untuk dipecahkan karena individu merasa tidak ada jalan keluar dari permasalahan yang dihadapi. Kesempatan yang mungkin ada dipersepsikan sebagai sesuatu yang beresiko tinggi sehingga indiviu tersebut enggan untuk mengambil kesempatan yang ada yang mana didasarkan dari kegagalan yang pernah individu alami sebelumnya. Hal ini yang kemudian membuat individu enggan untuk mengambil kesempatan yang ada.
Faktor Faktor Yang Mempengaruh
Menurut Seligman (1975) terdapat tiga komponen yang menghasilkan learned helplessness pada perilaku individu selanjutnya. Adapun komponen komponen tersebut adalah:
1. Penurunan motivasi (motivational deficit)
Menurut Maier & Seligman (1976) penurunan motivasi terjadi ketika kejadian yang tidak dapat dikontrol akan menurunkan motivasi seseorang untuk melakukan respon awal yang rendah dalam mengontrol kejadian yang akan datang. Penurunan motivasi dapat dilihat dari simptom-simptom sebagai berikut:
a. Respon awal yang rendah, dimana terjadinya penurunan untuk merespon segala sesuatu tindakan, tekanan suara yang menurun, isolasi dan penolakan, tidak dapat membuat keputusan sendiri, menjadi pasif, retardasi psikomotor, perlambatan kemampuan intelektual, tidak memiliki kepekaan sosial.
b. Selalu menunda hal yang akan dilakukan (procrastination).
c. Melakukan sedikit usaha untuk keluar dari stimulus yang berbahaya.
2. Penurunan kemampuan kognitif (cognitive deficit)
Menurut Maier & Seligman (1976) penurunan kognitif akan menghasilkan kesulitan dalam mempelajari respon untuk sukses. Individu akan percaya bahwa kesuksesan dan kegagalan adalah suatu hal yang terpisah. Bila individu memproses pengaruh lingkungan (yang dalam hal ini adalah kejadian yang tidak terkontrol) dalam kognitifnya dan sampai pada believe atau keyakinannya maka hal inilah yang membuat individu tersebut tidak dapat keluar dari situasi tersebut. Penurunan kognitif dapat dilihat dari simptom-simptom sebagai berikut:
a. Set kognitif yang negatif, dimana adanya pemikiran-pemikiran negatif, hal-hal yang kecil menjadi sesuatu yang besar dan kesulitan dalam menghadapi suatu masalah dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat diselesaikan.
b. Kesulitan untuk mempelajari respon sukses, walaupun respon sukses dapat dilakukan dengan berhasil.
c. Memperlambat kontrol persepsi.
3. Penurunan Emosional (emotional deficit)
Menurut Seligman (1975) penurunan emosional adalah dimana seseorang menunjukkan ketidakmampuan dalam mengontrol situasi yang tidak menyenangkan. Maier & Seligman (1976) menambahkan bahwa bila terjadi peristiwa traumatik yang menyebabkan tingkat emosional yang tinggi atau biasa disebut dengan ketakutan “fear”. Ketakutan yang berlanjut menyebabkan seseorang belajar untuk dapat mengontrol trauma atau tidak trauma ketakutantersebut. Jika seseorang dapat mengontrol trauma tersebut maka ketakutan akan menurun dan menghilang, tapi jika seseorang tidak dapat mengontrol kejadian traumatik tersebut maka ketakutan akan meningkat dan digantikan menjadi depresi. Penurunan emosional dapat dilihat dari simptom-simptom sebagai berikut:
a. Agresi yang rendah, dimana ketidakberdayaan menjadi awal dari penurunan agresi dan respon untuk dapat bersaing, dan status dominasi seseorang akan berkurang.
b. Kehilangan nafsu makan; dimana ketidakberdayaan akan menurunkan berat badan seseorang, dan penurunan dalam hal seksual dan sosial.
c. Luka dan stress.
d. Perubahan fisiologis; dimana terjadi perubahan pada neuron dan hormon. Seperti cathecholamine.
e. Mc Kein (dalam Cemalcilar, Canbeyli dan Sunar, 2003) menyatakan bahwa penurunan emosional biasanya meliputi dysphasia atau depressed mood yang diikuti dengan hasil akhir yang negatif.
Kriteria Ketidakberdayaan Yang Dipelajari
Menurut Seligman (dalam Miller, 2006), learned helplessness adalah kecenderungan untuk mengatribusikan kejadian sebagai:
1. Personalisasi internal: dijelaskan bahwa semua kejadian yang buruk disebabkan karena dirinya sendiri, sedangkan kejadian yang baik disebabkan karena lingkungan eksternal (ketidakberdayaan atau helplessness bersumber dari diri sendiri).
2. Secara keseluruhan pervasive: dijelaskan bahwa keyakinan akan kegagalan akan menyebabkan kegagalan disemua aspek kehidupannya tidak terkecuali pada situasi yang spesifik (ketidakberdayaan atau helplessness digeneralisasi pada semua situasi).
3. Permanen: dijelaskan bahwa sesuatu itu memiliki jangka waktu dan tidak akan berubah (ketidakberdayaan atau helplessness akan menjadi kronik).
Sumber:
Prayogo, Denda. (2015). Hubungan
antara adversity dan ketidakberdayaan
yang dipelajari pada anak berhadapan
dengan hukum di Rumah Tahanan Surabaya, Skripsi. Surabaya: Fakultas Psikologi Unair
No comments:
Post a Comment