Oleh:
Mahasiswa
Magister Profesi Psikologi Klinis
UNAIR 2016
Psikolog
merupakan salah satu komponen utama dalam memberikan pelayanan kesehatan mental masyarakat. Bentuk pelayanan
tersebut berbagai macam, hal itu bergantung pada setting pekerjaan. Pada setting klinis, umumnya psikolog
berperan dalam pengelolaan intervensi melalui instansi kesehatan masyarakat
seperti puskesmas dan rumah sakit. Pelayanan yang diberikan pada umumnya
memberikan intervensi yang berperan dalam mewujudkan mental yang sehat di
seting klinis dan segala upaya pemeliharaannya. Namun, dalam pemeliharaannya,
tentu memerlukan banyak hal yang patut dipertimbangkan agar dapat bermanfaat
bagi khalayak banyak.
Salah
satu hal yang sering menjadi isu dalam praktik psikologi klinis adalah mengenai
data, kerahasiaan data klien, serta layanan psikologi. Dimulai dari isu
mengenai data, psikolog / praktisi psikologi harus memahami bahwa data yang
digali dan selanjutnya akan digunakan untuk melakukan analisis hasil harus
aktual dan dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini menggambarkan jelas bahwa data
tersebut harus bersifat ilmiah (mempunyai dasar). Siapa yang berhak melakukan
asesmen adalah mereka yang memiliki kompetensi sesuai dengan tujuan pelaksanaan
asesmen.
Data yang tidak ilmiah tentu dapat
mempengaruhi proses analisis, khususnya dalam melakukan diagnosa. Yang mana
diagnosa ini harus dapat dipertanggungjawabkan. Tentunya hal ini akan
memberikan dampak (faktor resiko) bagi klien. Proses penggalian data harus
sesuai prosedur dan terjamin keabsahannya. Jika dalam melakukan asesmen telah
sesuai dengan penjelasan dalam bahasan Kode Etik Psikologi Indonesia, maka proses tersebut sudah bukan termasuk dalam
asesmen beresiko.
Isu
yang kedua mengenai kerahasiaan data. Seorang psikolog/psikoterapis dituntut
mampu menjaga kerahasiaan informasi yang diberikan klien kepadanya. Kerahasiaan
data klien, baik data catatan klien termasuk ringkasan semua kontak klien dan
dengan yang lain dari subjek, ringkasan umum dari progress, dokumentasi dari
perjanjian tentang pengobatan, dan semua data test psikologis dan juga informasi
tentang perilaku illegal, praktik seksual, atau infromasi sensitive lainnya
bisa kita pertanggungjawabkan keberadaannya.
Psikoterapis
dapat mengkomunikasikan atau menggunakan informasi klien hanya jika terkait
dengan kepentingan layanan psikologi. Seorang psikolog/psikoterapis juga
dituntut untuk tidak melebihi batasan-batasan kerahasiaan data ketika
mendiskusikan suatu informasi klien dan mengetahui pihak-pihak mana saja yang
berhak untuk mengetahui atau diajak berdiskusi tentang informasi klien. Seorang
psikolog/psikoterapis harus mengerti bagaimana menjaga kerahasiaan data dan
mengerti kapan saatnya data klien harus diungkapkan kepada pihak tertentu demi
kepentingan klien. Misalnya ketika klien terlibat dalam kasus hukum, maka
psikolog berhak memberitahukan data klien kepada profesional yang berkaitan
dengan keperluan hukum. Ketika dirasa kerahasiaan data ini dapat membahayakan
pihak lain maka perlu adanya informasi kepada pihak yang terkait yang tentunya
atas seijin klien. Sehingga walaupun data yang menjadi milik subjek adalah data
rahasia namun perlu dijelaskan kepada subjek bahwa inti dari pelayanan
psikologis ini adalah untuk bisa dikomunikasikan antara pihak yang
berkepentingan, sehingga hasil dari konsultasi ini bisa untuk membantu subjek
dalam menyelesaikan kasus psikologis nya.
Salah satu
contoh dilema etis yang terjadi terkait kerahasiaan data terjadi pada kasus
Tarasoff yang mana pada kasus tersebut seorang psikolog telah mengetahui
mengenai niat kliennya untuk menghabisi nyawa Tarasoff, namun dikarenakan
adanya dilema etis mengenai kerahasiaan data maka psikolog yang bersangkutan
tidak dapat memberikan peringatan kepada pihak ketiga mengenai niatan kliennya
tersebut. Kasus tersebut memunculkan keputusan terkait dengan kewajiban
memperingatkan pihak ketiga bagi psikolog/psikoterapis yang kliennya memiliki
kecenderungan untuk membahayakan orang lain. Keputusan mengenai kewajiban untuk
memperingatkan ini selanjunya mengarahkan kepada topik evaluasi kondisi
psikologis klien dan prediksi perilaku pasien. Kedua hal tersebutlah yang dijadikan
landasan tuntutan kepada psikolog ketika gagal memperingatkan pihak ketiga.
Yaitu bahwa psikolog seharusnya telah mengetahui resiko munculnya tindakan
membahayakan orang lain oleh klien.
Di
Amerika, konselor sekolah sering menerapkan batasan-batasan kerahasiaan dalam
hubungan terapeutik dengan klien, terutama jika klien masih di bawah umur.
Privasi atau kerahasiaan bukanlah sesuatu yang mutlak, apalagi jika melibatkan
klien yang masih anak-anak atau remaja. Informasi yang diperoleh dari klien
harus sepenuhnya rahasia, dengan pengecualian sebagai berikut: (a) klien
membahayakan diri atau orang lain; (b) klien atau orangtua meminta semua
informasi untuk dihubungkan dengan pihak ketiga; (c) pengadilan memerintahkan
konselor untuk mengungkap informasi tersebut.
Namun,
ada pula yang disebut dengan hak privileged
communication, yaitu percakapan atau informasi yang berlangsung dalam
konteks hubungan yang dilindungi (protected
relationship) – misalnya antara klien dengan terapis. Dengan diterapkannya praktek ini, hukum menentang adanya usaha
pengungkapan paksa dari informasi-informasi ini. Hukum ini baru
diterapkan di 20 negara bagian di Amerika, dan setiap negara bagian memiliki
pengecualian tertentu. Misalnya, undang-undang di negara bagian North Dakota
dan Maine membatasi privileged
communication khusus pada hubungan antara klien murid dan konselor sekolah.
Sedangkan di Ohio dan Montana, praktek privileged
communication diperluas dan tidak hanya melibatkan konselor sekolah, namun
juga menjangkau profesi lain seperti guru atau dosen psikologi, dan juga
psikolog.
Selain permasalahan
mengenai kerahasiaan data subjek ketika berhadapan dengan hukum, dilema
etik lain juga dialami oleh dokter yang juga dihadapi psikoterapis ketika
bekerja dengan klien yang positif mengidap AIDS adalah memberi respon yang
sepantasnya akan niat untuk melakukan bunuh diri. Psikolog harus juga
mempertimbangkan isi dari kewajiban legal. Tidak hanya melakukan prinsip etik
dari psikologis memungkinkan praktisi untuk melanggar kerahasiaan klien untuk
mencegah bunuh diri,
tapi untuk pengamatan terbaru, peneliti juga menemukan perkara hukum yang tidak
berhasil terhadap terapis yang melanggar kerahasiaan klien yang melindungi
hidup dari bunuh diri subjek. Dalam pembahasan kode etik menurut HIMPSI pada Pasal 15 Penghindaran Dampak Buruk Psikolog
dan/atau Ilmuwan Psikologi mengambil langkah-langkah yang masuk akal untuk
menghindari munculnya dampak buruk bagi pengguna layanan psikologi serta
pihak-pihak lain yang terkait dengan kerja mereka serta meminimalkan dampak
buruk untuk hal-hal yang tak terhindarkan tetapi dapat diantisipasi sebelumnya.
Dalam hal seperti ini, maka pemakai layanan psikologi serta pihak-pihak lain
yang terlibat harus mendapat informasi tentang kemungkinan-kemungkinan
tersebut. Sehingga
kemungkinan bunuh diri yang mungkin muncul bisa di hindari.
Diskusi batasan kerahasiaan antara psikolog dengan klien
dianggap sebagai langkah terbaik dalam membangun hubungan terapeutik atau konseling.
Terapis atau psikolog sebaiknya memberikan penjelasan menyeluruh dan berbincang
dengan klien tentang batasan kerahasiaan dan keadaan seperti apa sajakah yang
memperbolehkan psikolog untuk mengesampingkan prinsip kerahasiaan. Yang paling
penting adalah psikolog harus memastikan bahwa semuanya sudah disetujui oleh
klien. Memang ada kemungkinan self-disclosure
klien bisa menurun, tetapi setidaknya klien sudah bisa mengantisipasi dan
tidak akan merasa dirugikan jika muncul kasus serupa dengan yang dialami oleh
Denis Keet. Apalagi klien juga memiliki hak konsumen atas penggunaan jasa
psikolog dan memiliki hak untuk “melindungi diri” dari psikolog.
Seorang
psikolog/psikoterapis harus mampu bersikap profesional ketika memberikan
layanan psikologi dan mampu bertanggungjawab untuk menghindari dampak buruk
psikoterapi terhadap kliennya. Dalam bidang hukum, psikolog forensik dapat
memilih peran mana yang akan diambil, namun tidak disarankan untuk menjalani
peran ganda/ majemuk. Peran yang sedang dijalani psikolog profesi, tujuan serta
batasan-batasannya perlu dijelaskan kepada klien secara rinci, utamanya saat
awal pertemuan.psikolog harus memahami aturan hukum yang berlaku dalam sebuah
persidangan untuk menghindari adanya konflik dengan menunjukkan komitmen terhadap
kode etik.
Seorang
psikolog/psikoterapis perlu memastikan adanya persetujuan dari klien tentang
keterlibatan psikolog dan klien dalam pelaksanaan layanan psikologi dan klien
menandatangani informed consent. Bagi
psikolog/psikoterapis, informed consent
dapat membuat rasa aman dalam menjalankan layanan psikologi pada klien,
sekaligus dapat digunakan sebagai pembelaan diri terhadap kemungkinan adanya
tuntutan atau gugatan dari klien atau keluarganya apabila timbul akibat yang
tidak dikehendaki. Bagi klien, informed
consent merupakan penghargaan terhadap hak-haknya oleh
psikolog/psikoterapis dan dapat digunakan sebagai alasan gugatan terhadap
psikolog/psikoterapis apabila terjadi penyimpangan layanan psikologi.
Isu
lain mengenai layanan psikologis dalam kedaan mendesak. Dalam keadaan mendesak,
layanan psikologis dapat pula dilakukan melalui telepon. Namun perlu ditekankan
bahwa terapi melalui telepon hanya dapat diberikan pada saat keadaan darurat. Contohnya, telepon darurat dari
keluarga klien yang mengalami depresi, dimana klien sedang melakukan percobaan
bunuh diri. Di saat seperti itu, psikolog dapat memberikan terapi singkat
melalui telepon yang bertujuan untuk menenangkan klien dan juga keluarganya.
Salah
satu isu yang dikhawatirkan terjadi adalah isu tentang hubungan spesial antara
klien dan psikolog. Dalam kode etik psikologi Indonesia mengatur mengenai
kemungkinan adanya hubungan special antara klien dan terapis yaitu pada Bab IV:
Hubungan Antar Manusia, Pasal 16: Hubungan Majemuk telah mengatur hal tersebut.
Berikut ini merupakan kutipan dari Bab IV Pasal 16 Kode Etik Psikologi
Indonesia (2010).
Selain
itu beberapa hal yang dapat dilakukan psikolog pria untuk mencegah terjadinya
hubungan special antara psikolog dan klien, diantaranya:
1. Menyangkal
segala ketertarikan yang dirasakan beserta kemungkinan terjadinya hubungan dan tetap
melaksanakan proses terapi pada klien tersebut,
2. Berkonsultasi
dan meminta saran dari teman seprofesi,
3. Menyampaikan
pada klien bahwa hubungan special antara psikolog dan klien merupakan hal yang
tidak etis sehingga sesi terapi harus diterminasi,
4. Menyampaikan
pada klien bahwa hubungan special antara psikolog dan klien merupakan hal yang
tidak etis dan bahwa jika klien mengakhiri terapi dengan psikolog tersebut dan bersedia
melakukan terapi dengan psikolog lain maka mereka dapat melanjutkan hubungan
special tersebut, dan
5. Me-refer klien pada psikolog lain dan
menyampaikan pada klien bahwa psikolog lain akan lebih mempu menyelesaikan
kasus klien, sementara itu. psikolog tersebut juga harus menjalani sesi terapi
bagi dirinya sendiri agar hal yang sama tidak terjadi di kemudian hari.
Isu
etis selanjutnya mengenai praktik psikolog di wilayah pedesaan. Terkadang kita
menemukan bahwa di suatu daerah hanya memiliki satu orang psikolog saja.
Terkadang kompetensi yang dimiliki psikolog tersebut berbeda dengan apa yang
dibutuhkan oleh masyarakat di sekitarnya, seperti contohnya di suatu daerah
tersebut hanya ada seorang psikolog pendidikan dan perkembangan. Ketika itu ada
klien datang ke psikolog tersebut dengan permasalahan kasus klinis seperti
skizofrenia. Maka kompetensi psikolog ini kurang cocok untuk menangani kasus
tersebut. Untuk
mengatasi permasalahan keterbatasan kompetensi dari praktisi kesehatan mental
maka tetap disarankan untuk mengalihkan intervensi kepada pihak yang memiliki
kompetensi yang lebih mumpuni sehingga
klien mendapatkan intervensi yang tepat dan berkualitas bagi kesehatan
mental klien.
Dari
permasalahan permasalahan yang ada maka sangat diperlukan adanya pemahaman yang
menyeluruh mengenai kode etik. Di Indonesia sosialisasi mengenai kode etik
termasuk dalam kategori kurang. Hal ini diketahui dari rendahnya keinginan
untuk mengambil tindakan ketika berhadapan dengan persoalan etis, terutama yang
melibatkan kolega atau teman sendiri. Tak bisa disalahkan juga karena kode etik
jarang untuk ditekankan dan cenderung kurang spesifik bagi praktisi dan
ilmuwan. Kode etik juga hampir tidak memiliki batasan yang jelas sehingga hal
tersebut mempersulit siswa untuk memahami dan mempraktekkannya. Ada baiknya
apabila kode etik bisa disosialisasikan secara lebih komunikatif dan efektif.
Beberapa kuliah mengenai kode etik juga sebaiknya mampu lebih memotivasi para
siswa untuk menerapkannya.
Kode
Etik ini merupakan pedoman standar pengaturan diri bagi psikolog dalam bersikap
dan berperilaku, dengan tujuan menciptakan kehidupan masyarakat yang lebih
sejahtera. Sehingga dengan adanya Kode Etik sebagai kepastian jaminan
pelaksanaan pelayan psikologi, maka kepercayaan masyarakat semakin menguat
dalam menghargai profesi psikologi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
Kode Etik Psikologi Indonesia ini merupakan kristalisasi nilai moral yang
bersifat universal, sehingga penyusunannnya juga memperhatikan kesepakatan internasional.
Sumber:
Bersoff,
D.N., 1999. Ethical Conflicts In Psychology , Second Edition. Washington, DC: American Psychological
Association
PP
HIMPSI, 2010. Kode Etik Psikologi Indonesia.